bakabar.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa kinerja ekonomi Indonesia pada triwulan I 2023 tumbuh sebesar 5,03 persen year on year (YoY). Angka itu lebih tinggi ketimbang tahun lalu, yang mencapai 5,02 persen YoY.
Kendati mengalami peningkatan, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menilai hal itu belum cukup untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045 yang menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 - 7 persen. Alasannya, sektor industri dalam negeri masih mengalami pertumbuhan yang lambat.
“Agak sulit keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi 5 persen, kalau misalnya industri kita tidak bergerak. Jika industri bergerak santai sekitar 4-5 persen, maka akan sangat sulit bagi ekonomi kita untuk tumbuh 5 persenan ke atas,” ujarnya dalam diskusi Ekonomi Indonesia di Tengah Pusaran Risiko Gagal Bayar Utang Amerika, Senin (8/5).
Tauhid membeberkan ada lima industri yang justru terpuruk di balik meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kelimanya, ialah industri tembakau, kulit dan alas kaki, furniture, tekstil dan pakaian alat jadi, serta kayu dan barang dari kayu.
Baca Juga: Utang AS Sudah Mencapai Batas Atas, Indef: Akibat Pandemi Covid-19
Faktor yang menyebabkan anjloknya industri tersebut, di antaranya adalah penurunan permintaan ekspor dan daya beli rendah. Resesi yang tengah melanda Amerika Serikat ternyata turut andil dalam menyebabkan lambatnya pertumbuhan kelima industri tersebut.
“Efek dari resesi AS yang justru menarik adalah ternyata impor Indonesia dari AS meningkat. Kita malah mengimpor elektronik, alas kaki, karet dan produk karet, furniture, ikan, kayu dan produk kayu. Jadi ini sumbangan terhadap industri di Indonesia yang turun drastis,” ungkap Tauhid.
Selain sektor industri, Tauhid menyebut sektor pertanian juga perlu diperhatikan. Pasalnya, pertumbuhan sektor tersebut terbilang rendah. Diketahui pertanian hanya menyumbang 0,3 persen dari keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Terlebih lagi tanaman pangan, yang justru makin terpuruk sejak kebangkitannya di era pandemi COVID-19. Keputusan untuk tidak melakukan importasi beras saat panen raya telah membuat harganya anjlok.
Baca Juga: Indef Ungkap Tiga Jurus Jitu Hadapi El Nino
“Tanaman pangan sejak triwulan kedua 2022 justru bertambah memburuk, bahkan sekarang persentasenya negatif di angka -3,03 persen,” jelas Tauhid.
Ia menilai jika hal tersebut terus berlanjut, maka ke depannya bakal menjadi ancaman pada saat Indonesia mengalami El Nino. Kebijakan impor terjadi ketika negara lain juga tidak punya beras. Hal itu akan menimbulkan kesulitan mencari pangan di market yang lantas membuat inflasi semakin tinggi.
“Sulit mewujudkan Indonesia Emas 2045 kalau industri-industri utama ini mengalami penurunan. Beberapa industri yang terpuruk perlu diperhatikan, meskipun pertumbuhan ekonomi kita mencapai 5,03 persen,” tutup Tauhid.