bakabar.com, JAKARTA - Bagaikan air dengan minyak; kerap bertentangan sampai tak bisa disatukan. Begitu kiranya ungkapan yang tepat untuk merawikan situasi Korea Utara dengan negara tetangganya, Korea Selatan.
Memang sudah jadi rahasia umum, kedua negara di Semenanjung Korea itu tak selalu hidup berdampingan dengan akur. Barang sedikit saja ‘menyenggol’ salah satu di antara mereka, negara lainnya tak segan-segan membuat kebijakan, bahkan melancarkan respons ekstrem.
Sebagaimana yang dilakukan Korea Utara pada Senin (5/12) kemarin. Negara pimpinan Kim Jong Un ini menembakkan sekitar 130 artileri ke perairan di dekat perbatasan laut barat dan timurnya dengan Korea Selatan sebagai ‘peringatan.’
“Antara pukul 08:30 dan 15:50, kami mengamati lusinan proyektil diluncurkan ke arah tenggara dari Cheorwon. Perintah darurat dikeluarkan untuk pasukan di perbatasan agar mempersiapkan serangan balik yang cepat,” tutur Juru Bicara Staf Umum Tentara Rakyat Korea, dikutip dari Yonhap News Agency, Selasa (6/12).
Militer Korea Selatan pun menanggapi serangan ini dengan memberi peringatan keras. Sebab, faktanya, tembakan tersebut justru melanggar perjanjian militer kedua negara itu yang diteken pada 19 September 2018 lalu.
Tak cuma sensi soal latihan militer, dua bulan sebelumnya, Korea Utara bahkan tega menjatuhkan hukuman mati pada dua remaja. Sebabnya, mereka kedapatan menonton dan menyebarluaskan drama Korea Selatan.
Korea Utara memang begitu vokal soal aturan peredaran media asing. Mereka tak bosan-bosan memperingatkan publik bakal menindak keras ‘kejahatan’ yang melibatkan pertunjukan asing, utamanya yang berasal dari Korea Selatan.
Perseteruan Panjang sedari Perang Dunia II
Ketegangan antara kedua negara tersebut, nyatanya, sudah melanggeng sejak Semenanjung Korea lepas dari cengkraman Jepang. Alih-alih mempererat persatuan yang dibangun sedari zaman kerajaan, situasi di sana justru makin tak kondusif.
Kala itu, terjadi konflik internal yang akhirnya membuat Semenanjung Korea terpisah menjadi dua bagian. Pecahnya Korut dan Korsel pun tak terlepas dari campur tangan Amerika Serikat (AS).
Sebelum Jepang menyerah, AS – yang tergabung dalam Blok Sekutu – tengah menghadapi Perang Dunia II melawan Blok Poros. Untuk mengalahkannya, merea mengadakan berbagai konferensi terkait peristiwa di Semenanjung Korea.
Pada Konferensi Kairo, misalnya, Sekutu meminta Korea merdeka dari Jepang karena mereka hendak mengalahkan negara itu secara keseluruhan. Selang dua tahun, AS bersama Britania Raya dan Uni Soviet mengadakan Konferensi Yalta pada 4 - 11 Februari 1945.
Tak berselang lama, para petinggi militer AS kembali mendesak Uni Soviet untuk berperang melawan Jepang yang bersikeras tak mau menyerah melawan dunia barat. Pada 8 Agustus 1945, Uni Soviet pun melancarkan serangan pertama terhadap Manchuria yang saat itu sedang dikuasai Jepang.
Usai penyerangan tersebut, Red Army alias Tentara Merah milik Uni Soviet semakin bertindak cepat. Dua hari setelahnya, yakni pada 10 Agustus 1945, mereka berhasil memasuki bagian utara Semenanjung Korea.
Namun, pergerakan yang sangat cepat ini justru membuat AS panik. Negeri Paman Sam itu takut jika Uni Soviet malah menguasai Korea sepenuhnya.
AS lantas segera memetakan batas laju invasi yang sekarang dikenal sebagai Garis Paralel ke-38 atau Garis Demarkasi. Ketentuan garis pembatas tersebut juga dimasukkan ke dalam draft General Order No. 1, yang kemudian disetujui oleh Presiden Truman pada 17 Agustus 1945.
Sesuai General Order No,1, pasukan Jepang yang berada di atas garis paralel 38 derajat LU diperintahkan untuk menyerah ke Tentara Merah. Sedangkan, yang berada di bawah garis tersebut diperintahkan untuk menyerah ke Amerika Serikat.
Alhasil, Semenanjung Korea pun secara resmi terbagi menjadi dua bagian pada 17 Agustus 1945.