bakabar.com, JAKARTA - Peneliti Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna menilai percepatan kendaraan listrik di Indonesia justru tidak bertumpu pada pengadaan baterai berbasis nikel.
Indonesia tengah menggulirkan program insentif kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (EV) di tahun 2023. Pemerintah berharap, insentif yang diberikan mampu menurunkan konsumsi BBM hingga berdampak pada penurunan emisi.
Serta tidak kalah penting adalah untuk mendongkrak industri berbasis nikel di tanah air.
"75% dari mobil listrik yang terjual di Indonesia tahun lalu tidaklah menggunakan baterai nikel. Namun, menggunakan baterai berbasis besi dengan harga lebih terjangkau," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kamis (30/3).
Baca Juga: Toyota Indonesia Siap Hadirkan Kendaraan Listrik Baru pada 2023
Putra menjelaskan penggunaan baterai berbasis nikel akan terus tumbuh di dunia. Kemungkinan lebih banyak untuk pemakaian yang membutuhkan performa tinggi seperti kendaraan dengan jarak tempuh yang jauh.
"Ironisnya, belum jelas apakah kekayaan nikel Indonesia akan mendominasi perkembangan EV di pasar domestik," lanjutnya.
Ini karena sebagian besar populasi di Indonesia masih memiliki kendaraan roda dua dan mobil segmen bawah sampai menengah. Pertimbangan biaya sangat mungkin akan mencondongkan pasar EV Indonesia ke arah baterai LFP yang harganya lebih terjangkau.
Baterai Lithium Iron Phosphate (LFP) memiliki density energi yang lebih rendah dari baterai lithium-ion sehingga output tenaganya tidak besar. Baterai LFP juga tidak mendukung fast charging karena besaran arus listrik yang diterima terbatas.
Selain itu terdapat sejumlah kelebihan baterai LFP yang tidak dimiliki baterai lithium-ion. Salah satunya adalah baterai LFP tidak memiliki panas berlebih.
"Inisiatif yang ada tampak lebih terfokus pada pembangunan industri yang terkait penambangan nikel dan peningkatan industri baterai," ungkapnya.
Baca Juga: Dukung Industri Kendaraan Listrik, Antam Buka Peluang Hilirisasi Nikel
Lebih lanjut, dengan bertumpu kepada dua inisiatif tersebut, terlihat usaha untuk bisa memproduksi EV dengan harga terjangkau, baik dengan maupun tanpa baterai berbasis nikel.
Sementara itu, ada juga rencana untuk membangun pabrik baterai LFP di Indonesia. Pada akhirnya, apakah nikel Indonesia akan cukup kompetitif untuk mendorong tumbuhnya pasar EV domestik dengan baterai berbasis nikel masih menjadi pertanyaan.
Untuk itu, menurutnya, pemerintah harus mengantisipasi lonjakan penjualan EV yang tidak diikuti dengan perkembangan pasar EV yang berkelanjutan.
"Termasuk risiko turunnya penjualan setelah pemberian insentif berakhir. Milestone yang jelas dan tren penurunan harga perlu menjadi perhatian," jelasnya.
Baca Juga: Dukung Kendaraan Listrik, Aismoli: Langkah Pemerintah Sudah Tepat
Hal lainnya, pelajaran dari sejumlah negara harus menjadi dipertimbangkan dalam mengawasi dan mengoptimalkan program insentif EV ini, termasuk mengantisipasi risiko penyelewangan insentif.
Insentif seharusnya dibentuk secara progresif untuk mendorong teknologi tertentu yang memudahkan pengguna kendaraan seperti kendaraan dengan jarak tempuh yang lebih jauh, tingkat keselamatan yang lebih baik, termasuk kemampuan penukaran baterai.
"Pembangunan infrastruktur terkait EV harus didorong secara bersamaan dengan program insentif," pungkasnya.