bakabar.com, JAKARTA - Panasnya konflik antara Iran dan Israel membuat kondisi geopolitik dunia bergejolak. Hal ini diyakini bakal berimbas pada pasar minyak bumi dunia. Harga minyak dunia berpotensi bakal naik pesat imbas konflik ini.
Dirjen Minyak dan Gas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji memprediksi harga minyak dunia berpotensi bisa kembali menyentuh level US$ 100 per barel. Pasalnya, menurut dia, sejak Februari 2024 saja harga minyak dunia sudah naik di kisaran US$ 5-10 per barel per bulan.
Dengan adanya konflik Iran menyerang Israel kemungkinan harga minyak bisa makin meningkat dan menyentuh ke kisaran US$ 100 per barel.
Dalam paparannya, sampai saat ini saja harga Indonesia Oil Price (ICP) per 12 April 2024 sudah menyentuh US$ 89,51 per barel. Sementara rata-rata selama Januari hingga April berada di level US$ 82,55 per barel. Bukan tidak mungkin harga minyak akan menembus level US$ 100 per barel.
"Harga minyak ke depan akan sudah mengandung risiko geopolitik. Sebagai rule of thumb imbas memanasnya kondisi geopolitik akan menaikkan US$ 5-10 per barel. Jadi saya sependapat kenaikan bisa mencapai US$ 100 per barel," papar Tutuka dalam webinar Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI yang diselenggarakan oleh Alumni Eisenhower Fellowship Indonesia, yang dikutip dari detikfinance, Selasa (16/4/2024).
Namun, imbuh Tutuka, kepastian kenaikan harga minyak ini masih menunggu dinamika geopolitik dunia, khususnya apakah Israel dan sekutunya Amerika Serikat akan meluncurkan serangan balasan ke pihak Iran. Sejauh ini pihaknya masih optimis dampak kenaikan harga minyak hanya akan terjadi dalam jangka waktu yang cenderung pendek.
"Apakah berkelanjutan? Saya cenderung menunggu reaksi Israel dan Amerika terlebih dahulu. Tapi saya melihat cenderung ini hanya ke spike sementara saja dalam waktu tidak lama," ujarnya.
Di sisi lain, lanjut Tutuka, pihaknya juga yakin negara-negara penghasil minyak yang tergabung dalam kongsi OPEC juga kemungkinan pasti akan menahan harga.
Negara-negara OPEC, menurutnya, akan berupaya menahan harga minyak supaya tidak menyentuh US$ 100 per barel, angka normalnya dia bilang di kisaran US$ 70-80 per barel.
Kabar baiknya lagi, Tutuka menegaskan untuk saat ini harga BBM dijamin tidak akan mengalami kenaikan. Persis seperti komitmen pemerintah sebelumnya yang meyebutkan harga BBM tidak akan naik sampai bulan Juni mendatang.
"Kita masih seperti itu (tidak menaikkan harga BBM sampai Juni). Kita masih berpikiran ini short term," lanjut Tutuka.
Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan juga menyatakan pihaknya berkomitmen menjaga harga BBM tetap stabil, tanpa ada kenaikan. Pihaknya juga berjanji akan memastikan ketersediaan kebutuhan BBM di tengah masyarakat.
"Kecenderungan harga minyak mentah naik, namun kami tetap memastikan pasokan BBM nasional dalam kondisi aman. Kami juga komitmen menjaga harga BBM domestik tetap stabil agar tidak berdampak pada inflasi dan daya beli masyarakat," ujar Riva dalam keterangannya.
Dia menegaskan Pertamina akan mengambil kebijakan mempertahankan harga walaupun biaya produksi BBM meningkat seiring kenaikan harga minyak dunia.
"Sebagai perusahaan negara, kami mendukung upaya Pemerintah menjaga perekonomian nasional lebih stabil dan kondusif," imbuh Riva.
Potensi Subsidi Bengkak
Kementerian ESDM sendiri sudah mengamati potensi subsidi energi akan bengkak bila kenaikan harga minyak benar-benar terjadi bahkan bila sampai menyentuh angka US$ 100 per barel.
Kembali ke Tutuka, pihaknya sudah membuat hitung-hitungan berapa besar bengkak subsidi yang bisa terjadi.
Apabila ICP menyentuh US$ 100 per barel maka subsidi dan kompensasi BBM akan meningkat menjadi Rp 249,86 triliun dari asumsi APBN 2024 yang hanya di angka Rp 160,91 triliun. Sementara itu untuk subsidi LPG juga diramal membengkak menjadi Rp 106,28 triliun dari awalnya Rp 83,27 triliun.
"Kami juga telah melakukan simulasi-simulasi dampak ini, dengan berbagai parameter. Mulai dari kurs, ICP, dan faktor eksternal lain bahwa ini loh dampaknya, kemudian ini diharapkan dengan masukan ini bisa diambil keputusan," sebut Tutuka.
Dari sisi ketersediaannya sendiri, Tutuka mengatakan Indonesia sama sekali tidak memiliki riwayat perdagangan minyak dan gas dengan Iran. Dipastikan meskipun Iran bermasalah, tidak akan ada kasus sulit mendapatkan pasokan minyak yang diimpor.
Berdasarkan data yang dia sajikan, impor minyak Indonesia mayoritas didapatkan dari Singapura dengan pangsa pasar 56% dan Malaysia dengan pangsa pasar 26,75% yang jauh dari konflik Iran dan Israel. Sisanya dari India, Brunei Darussalam, China, Korea Selatan, Oman, dan Taiwan yang juga jauh dari konflik antara Iran dan Israel.(*)