Transisi Energi

Penurunan Konsumsi Batu Bara, IESR: Siapkan Transformasi Ekonomi

IESR menilai Indonesia perlu mengantisipasi potensi penurunan ekspor batu bara Indonesia dengan memastikan transisi energi berlangsung secara adil.

Featured-Image
Aktivitas loading batu bara dari stockpile ke tongkang di terminal khusus PT Talenta Bumi di Kecamatan Bakumpai. Foto: Talenta Bumi

bakabar.com, JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai Indonesia perlu mengantisipasi potensi penurunan ekspor batu bara Indonesia dengan memastikan transisi energi berlangsung secara adil, untuk mencapai transformasi ekonomi yang berkelanjutan.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengungkapkan tentang pentingnya pendataan dampak penurunan konsumsi batubara terhadap berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, lingkungan.

Permintaan batu bara domestik akan mencapai puncaknya pada tahun 2025-2030, setelah itu, ujar Fabby, permintaan batubara domestik akan turun signifikan. Jika melihat tren permintaan ekspor batu bara, hal serupa akan terjadi. Diprediksi ekspor batu bara akan turun setelah 2025.

"Apabila permintaan domestik dan ekspor batubara turun, maka produksinya pasti turun," kata Fabby dalam seminar Sunset PLTU dan Industri Batubara: Meninjau Arah dan Dampak Multisektoral dalam Transisi Energi Berkeadilan yang diselenggarakan oleh IESR, Rabu (27/9).

Baca Juga: Daerah Penghasil Batu Bara, IESR: Transformasi Ekonomi jadi Penting

IESR mengestimasi, Indonesia hanya punya waktu 5-10 tahun untuk melakukan penyesuaian dengan melakukan transformasi ekonomi di daerah-daerah penghasil batu bara seiring penurunan produksi. Hal itu akan berpengaruh terhadap berkurangnya permintaan negara dan daerah penghasil batu bara. 

Fabby menekankan bahwa transisi energi yang berkeadilan perlu memperhatikan tiga faktor yaitu keterkaitan antara ekonomi lokal dengan batu bara, kesiapan sumber daya manusia yang ada, dan rencana mitigasi dengan mempertimbangkan opsi-opsi alternatif perekonomian yang bisa dikembangkan di daerah tersebut.

Senada, analis kebijakan lingkungan IESR Ilham Surya memaparkan transisi energi akan berdampak terhadap daerah penghasil batu bara di Indonesia. Daerah terdampak, di antaranya Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dan Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.

Laporan IESR berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim menemukan bahwa kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB) sekitar 50 persen dan 70 persen di Muara Enim dan Paser selama satu dekade terakhir.

Baca Juga: IESR dan Ford Foundation Serukan Keadilan dalam Transisi Energi

Selain itu, dana bagi hasil (DBH) dari pajak dan royalti pertambangan batu bara berkontribusi signifikan pada pendapatan pemerintah (APBD) hingga 20 persen di Muara Enim dan rata-rata 27 persen di Paser.

“Analisis modelling input-output kami di Kab. Muara Enim menunjukkan batu bara hanya memberikan nilai tambah berupa kompensasi sekitar 20 persen bagi pekerja, dibandingkan 78 persen yang digunakan untuk perusahaan batu bara itu sendiri," ujarnya.

Hal itu menunjukkan bahwa walaupun kontribusi PDRB sektor pertambangan tinggi, antara 50 persen di Muara Enim dan 70 persen di Paser, ternyata tidak mencerminkan terdistribusinya manfaat bagi masyarakat lokal.

"Termasuk tidak banyak menimbulkan efek berganda (multiplier effect) yang besar,” jelas Ilham.

Baca Juga: Bali NZE 2045, IESR: Dekarbonisasi di Sektor Ketenagalistrikan

Ilham menegaskan bahwa daerah penghasil batu bara memerlukan transformasi ekonomi untuk memangkas ketergantungan tinggi terhadap ekonomi yang berasal dari batu bara.

Kajian IESR menemukan beberapa sektor unggulan yang bisa dikembangkan. Kabupaten Paser, misalnya, dapat mengembangkan jasa keuangan, manufaktur dan pendidikan. Sedangkan Kabupaten Muara Enim berpotensi mengembangkan manufaktur dan penyediaan akomodasi serta makan minuman.

Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo menjelaskan upaya yang perlu dilakukan untuk memonitor dampak transisi energi terhadap sektor batu bara. IESR, ujarnya, mengembangkan platform pelacakan dampak batu bara atau Coal Impact Tracker yang membuat tiga skenario masa depan batu bara.

Platform Coal Impact Tracker melacak dampak batu bara dari berbagai sektor seperti kependudukan, ketenagakerjaan, kesehatan dan lain - lain. Adapun tiga skenario tersebut adalah skenario BAU (Business as Usual), skenario Best Practice Policy (BPS) dan skenario System Dynamic yang bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung. Platform masih dalam pengerjaan dan rencananya akan dirilis pada Februari 2024.

Baca Juga: Kembangkan Industri PLTS di ASEAN, IESR: Indonesia Perlu Kolaborasi

Platform yang akan bernama radarbatubara.transisienergi.id merupakan bentuk kontribusi IESR dalam mengedukasi pemangku kepentingan terkait melalui visualisasi informasi indikator-indikator ekonomi, sosial, lingkungan dan kesehatan yang penting.

"Pemerintah daerah, masyarakat di lokasi industri batu bara dapat, pekerja dapat menggunakan platform ini untuk mengantisipasi dampak dan mempersiapkan antisipasinya lebih awal," ujar Deon.

Editor
Komentar
Banner
Banner