Industri Energi Surya

Kembangkan Industri PLTS di ASEAN, IESR: Indonesia Perlu Kolaborasi

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengungkapkan, Indonesia dapat membangun kolaborasi untuk menjadikan ASEAN sebagai pusat manufaktur komponen PLTS.

Featured-Image
Petugas melakukan perawatan panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Pulau Sabira, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Kamis (17/6/2021). PLTS berkapasitas daya sebesar 400 kilo Watt peak (kWp) tersebut dapat menghasilkan energi listrik sebesar 1.200 kWh per hari atau dapat memenuhi 50 persen konsumsi listrik harian masyarakat pulau yang berpenduduk sekitar 600 jiwa itu. Foto: ANTARA

bakabar.com, JAKARTA -  Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengungkapkan, Indonesia dapat membangun kolaborasi untuk menjadikan ASEAN sebagai pusat manufaktur komponen PLTS.

Hal itu diperlukan untuk menciptakan pengembangan industri dan peluang ekonomi hijau serta berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca global.

Usulan itu menjadi realistis karena saat ini energi surya menjadi andalan untuk mencapai target net-zero emission (NZE) di masing-masing negara anggota ASEAN. Tentu saja, itu seiring ketersediaan sumber daya dan harga teknologi yang semakin murah.

Vietnam, kata Fabby, menjadi negara yang mempunyai kapasitas terpasang PLTS tertinggi di ASEAN sebesar lebih dari 20 GW. Kemudian Thailand sekitar 3 GW, Malaysia sekitar 2,2 GW, dan Filipina sekitar 1,7 GW.

Baca Juga: RI dan Enam Negara ASEAN Tandatangani MoU Kejahatan Lintas Negara

"Indonesia sendiri, hingga tengah tahun 2023, kapasitas terpasang PLTSnya baru mencapai 0,2 GW," terang Fabby dalam keterangannya, Jumat (25/8).

Ia mengungkapkan, potensi industri dan rantai pasok komponen PLTS di ASEAN juga sudah mulai berkembang. "Dari segi ketersediaan material, Indonesia dan Malaysia berpotensi memenuhi kebutuhan polisilikon yang diperlukan untuk produksi wafer dan ingots dan sel surya (solar cell),” terangnya.

Transisi energi sesuai dengan target Paris Agreement memerlukan kawasan ASEAN untuk membangun kapasitas energi terbarukan hingga mencapai 39% - 41% dari bauran energi primer pada 2030. Dengan begitu, kapasitas PLTS yang harus dibangun mencapai 142 GW hingga 241 GW.

Kebutuhan terbesar untuk PLTS ada di Indonesia, yang merupakan negara ekonomi
terbesar dan yang memiliki target untuk mencapai 34% bauran energi terbarukan di sektor kelistrikan pada 2030. Indonesia, ungkap Fabby, membutuhkan teknologi PLTS dengan kualitas yang baik, pasokan dan stabil, dan harga yang terjangkau.

Baca Juga: Rasio Elektrifikasi, IESR: Tak Menjamin Keandalan Kualitas Listrik

Selain potensi pasar, Indonesia juga memiliki sumber daya silika yang dapat dimurnikan menjadi bahan baku polysilicon yang merupakan bahan dasar sel surya. Di sinilah, melalui pengembangan solar industry hub di ASEAN, Indonesia akan mendapatkan manfaat ekonomi dan negara-negara ASEAN akan mendapatkan pasokan bahan baku yang penting dengan lebih terjamin untuk produksi sel dan modul surya.

"Untuk itu, pemerintah perlu memberikan teladan dalam menetapkan dan menerapkan kebijakan yang mendukung pembangunan industri dan rantai pasok di Indonesia," jelasnya.

Hal itu akan memicu adopsi PLTS yang lebih masif dan membawa Indonesia sejajar
dengan negara anggota ASEAN lainnya yang telah mengedepankan energi surya.

Berdasarkan pengamatan IESR, meski sepanjang 2022 dan hingga tengah tahun 2023 terdapat beberapa kendala untuk pemasangan PLTS, seperti pembatasan kapasitas pemasangan dan revisi Permen ESDM nomor 26 tahun 2021, setidaknya terdapat 186,5 MW kapasitas PLTS terkontrak dari 655 MWp project pipeline PLTS atap saja hingga bulan April 2023.

Baca Juga: Ada Penyesuaian Sistem Kerja ASN Jelang KTT ASEAN 2023

“Indonesia sendiri perlu membangun hingga 100 GW PLTS skala utilitas sampai tahun 2030 untuk mencapai zero-emission 2050 berdasarkan kajian Deep Decarbonization IESR," papar Fabby.

Senada, manajer program akses energi berkelanjutan IESR Marlistya Citraningrum mengingatkan tentang perlunya keselarasan antara kebijakan dan implementasi di lapangan. Termasuk kejelasan prosedur yang mampu mendorong partisipasi aktif masyarakat, iklim investasi yang baik, hingga adanya dukungan berupa insentif atau pembiayaan inovatif lain.

Di tingkat ASEAN, kata Marlistya, kolaborasi strategis dan secara paralel mengembangkan industri surya regional diharapkan dapat membuat pertumbuhan PLTS.

" Pertumbuhan PLTS akan lebih masif di tahun-tahun mendatang,” ungkap Marlistya.

Baca Juga: Proyek PLTS, Anggota AESI Teken Kontrak 134 MW di Semester I 2023

Selain itu, IESR mendorong pemerintah Indonesia pada AMEM ke-41 dan ASEAN Summit ke-43 mampu menawarkan inisiatif dan mewujudkan kesepakatan yang monumental dalam hal kolaborasi antar negara di ASEAN.

Menurut Marlistya, hal itu akan menjadikan ASEAN sebagai pusat manufaktur komponen PLTS dan komponen pendukung lainnya dengan menitikberatkan pada keunggulan komparatif masing-masing negara. Pada gilirannya, hal itu turut mendorong kerja sama ekonomi, industri dan perdagangan, dan selaras dengan tujuan Indonesia sebagai ketua ASEAN 2023.

"Selain itu, visi ini selaras dengan kebijakan hilirisasi di Indonesia dan dapat menjadi pendorong tumbuhnya industri manufaktur teknologi energi terbarukan di Indonesia," tandasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner