bakabar.com, JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kembali menegaskan setiap orang yang menjadi korban pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk tragedi 1965, berhak mendapatkan keadilan dan pemulihan dari negara.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan langkah pemerintah dalam merumuskan definisi korban pelanggaran HAM berat yang berhak mendapatkan keadilan melalui mekanisme non-yudisial harus terus dikawal.
"Tujuannya agar tidak ada korban yang tidak mendapatkan haknya sebagai korban pelanggaran HAM berat masa lalu," katanya di Padang, Sabtu (17/6). Seperti dinukil antara.
Baca Juga: Tindakan Haris-Fatia Upaya Pemajuan HAM Industri Tambang
Mengenai pernyataan pemerintah yang menyatakan 39 orang korban pelanggaran HAM yang terasing atau disebut juga dengan eksil bukan merupakan pengkhianat negara, Atnike mengaku tidak mengetahui dari mana pemerintah memperoleh data tersebut.
"Nah, saya tidak tahu dari mana pemerintah mendapatkan 39 nama itu. Itu harus dicek ke pemerintah," ujarnya.
Atnike mendorong media massa dan koalisi masyarakat sipil di Tanah Air untuk menanyakan lebih jauh ke pemerintah mengenai data yang menyebutkan 39 orang eksil peristiwa 1965 tersebut.
Baca Juga: Komnas HAM Patok Kriteria Capres: Hormati HAM!
"Kalau pemerintah bilang hanya 39, tapi ada yang punya data lain maka harus dibandingkan," ujar dia.
Tidak hanya eksil yang tersebar di berbagai negara, Komnas HAM juga mendorong pemerintah untuk segera menemukan formula yang tepat dan efektif agar para korban 1965 di Indonesia mendapatkan pemulihan khususnya melalui mekanisme non-yudisial.
Ia mengatakan pemulihan tersebut bisa bermacam-macam, di antaranya pemberian kompensasi dalam bentuk materi, layanan kesehatan, dan program beasiswa hingga bantuan modal.
Baca Juga: Masyarakat Suku Awyu Adukan Perusahaan Sawit ke Komnas HAM
Namun, hingga kini perempuan yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Yayasan Jurnal Perempuan tersebut mengaku belum mengetahui bentuk kongkret yang akan dilakukan kementerian dan lembaga dalam mengatasi persoalan itu.
"Hal yang tidak kalah penting ialah pemulihan nama baik karena tidak selalu para korban membutuhkan materi untuk pemulihan yang dimaksud," kata dia.
Terakhir, pemerintah juga perlu memikirkan tentang pemulihan kolektif karena yang terkena dampak dari pelanggaran HAM berat tidak hanya korban secara langsung, namun juga masyarakat umum.
Baca Juga: Komnas HAM: Sidang Tragedi Kanjuruhan Diwarnai Intimidasi dan Tekanan
"Generasi sekarang yang lahir setelah 1998 belum tentu tau adanya kerusuhan Mei. Nah, itu termasuk pemulihan kolektif yang juga bisa dipikirkan pemerintah melalui mekanisme non-yudusial," ucapnya.