bakabar.com, JAKARTA – Perjalanan panjang becak sebagai sarana transportasi umum dengan harga merakyat, pelahan-lahan semakin terkikis oleh zaman. Tapi, masih ada pengendara becak yang masih setia mengayuh becaknya untuk mengantar penumpang.
Taksim (60 tahun), salah satunya yang masih setia mengayuh becaknya. Dalam kesehariannya ia sering mencari penumpang dengan menunggu di ujung jalan keluar sekitar Stasiun Depok.
“Orangtua di sini jadi saya mengikuti bapak. Waktu itu awal mulai tahun 1974, tapi sekarang orangtua sudah meninggal,” ujarnya kepada bakabar.com di Depok, Jawa Barat, Senin (24/10).
Baca Juga: Betulkah Ikan Cupang Jadi Fenomena Musiman? Ketahui Kategori dan Harganya
Tanpa modal kemampuan yang mumpuni untuk mencari pekerjaan, Taksim memulai perjalanannya sebagai pengedara becak sejak tinggal di Depok pada tahun 1974.
Selain mengikuti orangtua, alasan ia menjadi pengendara becak dikarenakan sulitnya ia mendapat pekerjaan di kampung halamannya, Pamanukan, Subang, Jawa Barat. Merantau bersama orangtua menjadi pilihan akhir.
“Saya juga tidak menempuh pendidikan formal pada waktu itu,” ungkapnya.
Alasannya karena pada tahun tersebut, masih jarang orangtua yang memiliki rencana untuk menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi.
Baca Juga: Tinggi Saat Pandemi, Kini Harga Ikan Cupang Hancur
Setelah 48 tahun berlalu, kemajuan teknologi transportasi saat ini, termasuk setiap orang memiliki kendaraan bermotor, semakin mengikis pendapatan Taksim. Situasi hidupnya semakin tidak menentu. Ia merasakan semakin sulitnya mendapat penumpang.
“Padahal dulu, saya masih bisa dapat banyak, tapi sekarang hanya bisa dapat satu penumpang juga sudah alhamdulillah,” kata Taksim.
Masalah lain timbul, ketika mendapat penumpang. Tarif yang ditetapkan untuk sekali perjalanan per orangnya sebesar Rp15.000. Tapi, jarang ditemui penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang ditetapkan.
Terkadang setiap kali mengantarkan penumpang, upah yang diterima Taksim sebesar Rp10.000. Paling sial, dia pernah mendapatkan upah sebesar Rp5.000 sekali jalan setelah melalui proses perdebatan harga yang cukup alot.
Padahal, harga standar yang ia tetapkan jauh lebih murah dari harga transportasi online. Bahkan ia pernah mendapatkan upah sesuai yang ia tetapkan yakni Rp15.000. Itupun bukan mengangkut satu orang penumpang, melainkan sebanyak tiga penumpang dalam sekali perjalanan.
Dengan beban seberat itu, ia mengayuh becak membelah kemacetan Kota Depok.
“Paling banyak beberapa hari yang lalu itu dua penumpang, seringnya saya tidak jalan sama sekali,” tuturnya.
Harga kebutuhan pokok untuk kehidupan sehari-hari semakin tinggi. Pekerjaannya sebagai pengedara becak, membuat Taksim harus bekerja keras untuk mendapat penumpang.
“Sekarang saya biasa menunggu dekat stasiun Depok dari pagi-pagi sekali, sampai malam jam 9 malam,” imbuhnya.
Baca Juga: Jakarta Ada Pemutihan Pajak, Simak Cara Mengurus Balik Nama Kendaraan
Di perantauan, Taksim tinggal seorang diri. Istrinya meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Dua anaknya, masing-masing sudah berumah tangga. Keduanya hanya mampu menempuh pendidikan SD, faktor keuangan menjadi penyebabnya.
Berbeda dengan Taksim, kedua anaknya pun memenuhi kebutuhan keluarganya sebagai ojek pangkalan di Pamanukan, Subang, Jawa Barat.
Sedangkan anak bungsunya masih menempuh pendidikan SMK di kampung halamannya bersama kedua kakaknya.
“Saya tidak punya keahlian lain yang memadai menjadi alasan saya bertahan dengan pekerjaan ini. Semampunya, saya akan terus mengayuh becak ini,” tutupnya.