Oleh: M. Jefry Raharja
Bapak pendiri bangsa pernah berkata dalam pidatonya. "Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?". Soekarno Presiden Pertama Republik Indonesia ini memang selalu tegas menyampaikan kalimat dalam pidatonya.
Kata-kata tersebut sepatutnya menjadi refleksi kita yang dianggap sudah merdeka hari ini. Benar jika pembangunan adalah salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa. Tapi apakah pembangunan itu sudah seperti yang diharapkan semua rakyat, atau bahkan sama sekali tidak dapat diakses oleh minoritas yang termarjinalkan.
Seperti Yin dan Yang, pembangunan harusnya dapat seimbang dalam konteks kesejahteraan. Biasanya pembangunan cenderung diawali dengan penghancuran atau penggusuran. Padahal setiap ekosistem alami yang telah dirubah atau dirusak berpotensi mengganggu ekosistem itu sendiri. Artinya baik itu pembangunan dalam skala kecil atau besar pasti akan berdampak pada lingkungan.
Belakangan ramai penggusuran terhadap para pedagang pasar tradisional atas nama pembangunan. Di dalam masyarakat urban, pembangunan memang dianggap barang mewah yang harus selalu ada. Terlepas pembangunan itu baik dan layak atau hanya legitimasi sebuah proyek miliaran bahkan trilliunan dan berpotensi menjadi ladang korupsi.
Pedagang pasar tradisional hanya salah satu contoh korban penggusuran atas nama pembangunan. Ada banyak sekali masyarakat lain seperti petani dan nelayan yang diusir dari tanah sendiri. Di negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, kapitalisme melenggang bebas seakan menari bersama "ratu adil" untuk melupakan kaum tertindas.
Bagi penulis, akhir-akhir ini kapitalisme masuk dalam ruang-ruang yang tidak seharusnya seperti pendidikan. Meskipun pengetahuan itu mahal, setidaknya itikad negara mencerdaskan bangsa dapat tergambar dari terjangkaunya biayanya pendidikan. Kenyataan memang tidak selayaknya harapan, komersialisasi pendidikan begitu masif di institusi dan lembaga pendidikan. Lalu dinormalisasi melalui "kebijakan" internal lembaga. Bahkan ritel modern dapat dengan bebas masuk dan berdiri di halaman kampus.
Pembangunan yang dimulai dari penghancuran memang dianggap selalu menghasilkan keuntungan. Dalam hal sumber daya alam misalnya, kapitalisme akan selalu bergantung pada eksploitasi alam. Padahal di tangan masyarakat adat, sumber daya alam dijaga dengan begitu baik bahkan menjadi sarana ritus mereka.
Penghancuran yang penulis maksud juga bukan hanya soal lingkungan dan ekosistem alami. Lebih jauh dari itu ada ancaman penghancuran nilai sosial, budaya, dan historis. Struktur politik lokal juga sangat berpotensi terganggu akibat bentuk kuasa bukan lagi pengaruh persona melainkan adalah dalam bentuk uang. Akhirnya masyarakat yang arif tidak lagi berharap pada tokoh yang benar, namun pada pemodal yang dianggap "dermawan".
Memahami pembangunan secara substansi harusnya bukan terkait fisik infrastrusktur dengan gaya modern saja. Aspek ekonomi, sosial, budaya dan nilai historis yang hancur dalam rangkaian pembangunan tersebut apakah setimpal dan berkeadilan dalam praktiknya. Jangan sampai kita teperdaya dengan kemewahan semu dari hasil merampas saudara sebangsa.
Pada akhirnya kita harus kembali merdeka sejak dalam pikiran. Tidak ada yang salah dengan bertanya apakah bangunan itu baik atau buruk. Sama halnya ketika kita bertanya apakah produk kebijakan itu baik atau buruk. Itulah bentuk negara demokrasi yang harusnya memberikan ruang kepada setiap orang yang ditindas.
Seperti cerita penggusuran Pasar Batuah di jalan Veteran Banjarmasin. Harusnya menjadi studi kasus yang ditelaah semua pihak dalam berbagai latar belakang akademis. Harusnya pendidikan mampu meninggikan derajat kaum tertindas agar punya basis argumentasi di level yang sama dengan Pemerintah. Terlepas ada atau tidak dokumen legal versi negara, warga terdampak mestinya diberi banyak pilihan untuk menentukan nasibnya.
Mungkin dalam perspektif pertumbuhan ekonomi, pembangungan adalah wajah yang tampak. Tetapi ada nilai-nilai yang juga luntur seiring pembangunan berjalan. Nilai filosofis sebagai manusia yang tidak menindas menjadi nilai tukar yang tidak sepadan. Ketika bangsa ini dimerdekakan dengan berlandaskan nasib yang sama. Setelah 76 tahun kemerdekaan itu jangan sampai kita menjadi kacang yang lupa kulitnya.
Ironi lain dalam kerangka pembangunan di Kalimantan Selatan dapat dilihat dari angka stunting (tinggi badan menurut umur). Dalam hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2021 oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukan angka stunting di Kalimantan Selatan masuk dalam 6 tertinggi prevalensi yaitu 30 persen. Tingginya tingkat stunting itu sepertinya tidak sebanding dengan masifnya ekstraksi sumber daya alam di Kalimantan Selatan.
Kadang kala kita dimanjakan dengan begitu banyak infrastruktur swasta yang dibangun. Seolah-olah itu bisa dinikmati oleh siapa saja. Di sisi lain beberapa kalangan sangat jauh dari akses itu, bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup saja begitu susah payah. Sembilan bahan pokok pun tidak semuanya dapat terbeli. Mungkin itu pula yang menjadi salah satu penyebab tingginya stunting di Kalimantan Selatan.
Populasi terus tumbuh, hukum pasar akan berlaku seiring permintaan. Artinya selain ada ancaman pembangunan yang mengesampingkan dampak kehancuran, ada hukum "rimba" pasar yang menanti. Pertarungan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan seperti yang Bung Karno katakan pun akan semakin berat.
Selagi kita dapat menjangkau kebutuhan itu, maka organisir diri kita dan lingkungan terdekat. Persoalan di depan mungkin akan lebih rumit jika pola pembangunan terus diawali dengan perampasan dan penghancuran. Ketika banyak nilai diabaikan, mungkin kemanusiaan sedang dipertaruhkan. Lingkungan hidup harus menjadi diskursus dalam banyak kesempatan. Mungkin ini saatnya menjadikan pendidikan berpihak pada kaum tertindas. Jangan sampai benih-benih feodal tumbuh dan melahirkan buah "kebisuan" seperti yang diceritakan Paulo Freire dalam kisahnya.
*
Penulis adalah Staf Advokasi dan Kampanye Walhi Kalimantan