Opini

Merdeka Belajar Wujud Pendidikan yang Ideal

Oleh Fauzi Rohmah, S. Pd Tujuh puluh enam tahun sudah Indonesia merdeka dari penjajah. Namun, kita…

Featured-Image
Ilustrasi merdeka belajar. Foto-Istimewa

Oleh Fauzi Rohmah, S. Pd

Tujuh puluh enam tahun sudah Indonesia merdeka dari penjajah. Namun, kita sebagai bagian dari pendidikan (siswa dan guru) sudahkah merasakan merdeka dalam belajar?

Dunia pendidikan di Indonesia sudah lama ini menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau daring. Hal ini disebabkan oleh adanya pandemi Covid-19. Siswa dan guru harus terbiasa dengan pembelajaran tatap maya serta dituntut untuk menggunakan dan menguasai teknologi dalam waktu singkat untuk pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Selain itu, orang tua juga mengalami tuntutan yang sama. Di mana orang tua menjadi pendamping siswa belajar di rumah. Orang tua harus mampu mengoperasikan teknologi dan melek digital. Sekolah dan orang tua saling bersinergi dan berkolaborasi dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh.

Seiring dengan menurunnya jumlah terkonfirmasi positif pasien Covid-19 di Indonesia, dunia pendidikan telah melaksanakan pembelajaran dengan tatap muka terbatas (PTM-T) di wilayah dengan level 3. PTM-T dilakukan dengan sangat ketat dan wajib melaksanakan protokol kesehatan. Pembelajaran dilakukan dengan siswa hadir ke sekolah sebanyak 25% dari jumlah siswa di kelas. Jumlah siswa akan ditingkatkan kehadirannya berdasarkan level di suatu wilayah yang menurun.

Sejalan dengan itu, masih hangat diperbincangkan di kalangan pendidik tentang kebijakan yang dicetuskan oleh menteri pendidikan. Program 'Merdeka Belajar' yang digagas oleh Bapak Nadiem, salah satunya penghapusan Ujian Nasional (UN) mulai tahun 2021 diganti dengan sistem penilaian Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan survei karakter. Program ini salah satu upaya kemerdekaan dalam berpikir dan berekspresi. Jadi, perlu dipahami maksud dari kebijakan merdeka belajar di sini, yaitu bukan berarti sebuah kemerdekaan untuk belajar apa saja atau bebas untuk mengikuti pembelajaran atau pun tidak. Bukan juga berarti siswa bebas mau mengerjakan tugas atau pun tidak. Maksud dari kebijakan merdeka belajar jelas bukan itu.

Merdeka Belajar bertujuan untuk memerdekan guru dan siswa. Hal ini sejalan dengan semangat dari Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, yaitu memerdekakan manusia dalam pendidikan. Merdeka Belajar ini lahir berdasarkan keluhan-keluhan oran tua terhadap sistem pendidikan yang mensyaratkan nilai sebagai penentuan keberhasilan siswa.

Kebijakan merdeka belajar sedikit dapat menjawab keluhan para orang tua. Di mana para siswa diberi kebebasan untuk mengakses ilmu pengetahuan dan keterampilan. Sumber ilmu tidak lagi sebatas ruang kelas dan guru, tetapi siswa bisa mendapatkan dari ruang kelas, internet, perpustakaan, dan lingkungan sekitar. Pusat sumber belajar bukan lagi guru dan buku pelajaran saja.

Proses Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTM-T) dengan kebijakan Merdeka Belajar mengharuskan guru lebih kreatif dalam menyampaikan materi dan tugas, sehingga siswa akan mudah dibimbing dan diarahkan pada tujuan kebijakan merdeka belajar. Guru dapat memilih komponen kurikulum yang terbaik untuk peserta didik. Selain itu, guru dapat menentukan cara dan strategi belajar dalam kegiatan PTM-T.

Kebijakan ini, benar-benar melatih siswa untuk lebih mandiri dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan PTM-T masih melaksanakan pembelajaran secara daring atau semi daring sebagai bimbingan yang dilakukan oleh guru. Hal ini dilakukan, karena terbatasnya tatap muka yang dilaksanakan di sekolah yang hanya empat jam saja.

Namun, di lapangan pelaksanaannya bukan tanpa hambatan. Minimnya sarana dan prasarana pendidikan bukan rahasia umum lagi, apalagi di masa pandemi ini seperti di daerah pelosok yang jaringan signal tidak bisa dijangkau. Sementara itu, ada sebagian siswa yang tidak mempunyai handphone atau tidak mampu membeli paket data. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan bagi pihak sekolah, khususnya bagi guru dalam menentukan strategi belajar yang efektif. Sehingga, kondisi yang demikian dapat diatasi.

Kebijakan Merdeka Belajar ini harapannya dapat memudahkan siswa dan guru, sehingga dapat melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar dengan menyenangkan. Di masa pandemi, diharapkan guru lebih leluasa mengimplementasikan kebijakan merdeka belajar dalam menghadapi siswa yang mempunyai karakter berbeda. Guru dapat menggunakan metode apa saja, tentunya metode yang inovatif dan kreatif. Ketika guru telah menemukan potensi yang dimiliki siswa, maka guru akan menjadi pendengar, pembimbing, dan penasihat yang baik. Sehingga, potensi yang dimiliki dapat dikembangkan dan terus dilatih untuk mengasah kemampunya. Kemudian, guru dapat mengunggah hasil tugas atau hasil karya siswa ke blog sekolah atau di halaman media sosial.

Seyogyanya, kebijakan Merdeka Belajar ini dapat mengubur pendapat umum bahwa pendidikan di Indonesia masih terkesan kaku, birokratis, dan hanya terpaku pada standar-standar dan pemenuhan kurikulum semata. Hal inilah yang menyebabkan siswa terbebani kultur pendidikan yang menitikberatkan pada hasil berupa nilai sebagai pemenuhan indikator keberhasilan siswa. Pola pikir kita harus berubah, sehingga pendidikan di Indonesia pun akan berubah dan menjadi ideal dengan adanya kebijakan Merdeka Belajar. Akhirnya, akan tercipta lingkungan belajar yang terbebas dari tekanan psikologi.

Lalu, sudahkan kita merasakan merdeka belajar?
*

Penulis adalah guru SMP NEGERI 1 Kusan Hilir, Tanah Bumbu.



Komentar
Banner
Banner