Adapun pembangunan sekolah pendidikan guru yang serupa dengan Hoogere Kweekschool Magelang yakni Bukittinggi (Fort de Kock) pada 1856, Tanah Baru, tapanuli pada 1864, yang kemudian ditutup pada 1874, Tondano pada 1873, Ambon pada 1874, Probolinggo pada 1875, Banjarmasin pada 1875, Makassar pada 1876, dan Padang Sidempuan pada 1879.
Warto menuturkan, bahasa Belanda mulai diajarkan pada 1865, dan pada 1871 dan menjadi mata pelajaran wajib. Pada dasawarsa kedua abad ke-20, bahasa Belanda bukan lagi hanya bahasa wajib melainkan menjadi bahasa pengantar.
Menurut Warto, Hoogere Kweekschool mengalami berbagai perombakan lantaran adanya perubahan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan. Bahkan, beberapa sekolah ditutup dengan alasan penghematan keuangan negara.
"Hoogere Kweekschool di Magelang tutup pada 1875, Padang Sidempuan (1891), Banjarmasin (1893), dan Makassar (1895)," ujarnya.
Hoogere Kweekschool Pemantik Cikal Bakal Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), Kini Dikenal dengan PGRI
Selain terus berubahnya kebijakan, eksistensi Hoogere Kweekschool menurun lantaran jabatan guru kurang diminati pada awal abad ke-20.
Terlebih, menurut Wanto, berdasarkan desertasi dari Leiden berjudul "The Breanch in Dike: Regime Change and standarisation primary school," pada masa itu, struktur sosial kolonial didasarkan pada perbedaan ras.
"Masyarakat Eropa (Belanda) menempati urutan paling atas, sementara pribumi menempati urutan yang paling bawah," paparnya.
Baca Juga: Menyusuri Jejak Sejarah GPIB Beth El Magelang Usianya Lebih dari 2 Abad
Konflik antara guru pribumi dan Eropa semakin meruncing lantaran adanya perbedaan gaji. Konflik tersebut juga merembet di antara guru pribumi saat itu.
Sejak tahun 1878, lulusan Hoogere Kweekschool menerima gaji di atas f 75 (f=gulden) sampai f 150 per bulan. Sedangkan Guru-guru bantu Sekolah Kelas Dua mendapat gaji sekitar f 20,- sampai f 30 per bulan.
"Jika disesuaikan dengan kenaikkan harga barang kebutuhan hidup, gaji tersebut dinilai tidak mencukupi," ujar Guru Besar FIB UNS ini.