Bangunan Bersejarah

Menyusuri Gereja Santo Ignatius Magelang yang Usianya Lebih 100 Tahun

Matahari sudah terbit sempurna, namun cahayanya belum terik. Para pedagang sudah bersiap menggelar lapaknya, meski pembeli masih belum ramai.

Featured-Image
Peserta Mlaku Magelang saat menyusuri Gereja Katolik Santo Ignatius Magelang (Apahabar.com/Arimbihp)

bakabar.com, MAGELANG - Matahari sudah terbit sempurna, namun cahayanya belum terlampau terik. Para pedagang di Kota Sejuta Bunga sudah bersiap menggelar lapaknya, meski pembeli masih belum ramai dan berisik.

Saat yang lain sibuk menghabiskan akhir pekan dengan berjalan-jalan di pusat Kota Magelang, para pemuda itu terlihat asik berdiskusi sambil berdiri.

Lengkap dengan ransel dan topi, para pemuda tersebut siap menyusuri kota untuk membedah setiap sudut sejarahnya.

Termasuk sejarah tentang Gereja Katolik Santo Ignatius yang usianya lebih dari 100 tahun.

Baca Juga: Menyusuri Jejak Gereja Bersejarah Zending di Magelang

Dengan usia yang lebih dari 100 tahun, bisa dipastikan betapa tuanya gereja yang berdiri di atas lahan seluas 13.000 meter persegi itu. Namun yang unik, meskipun tua, bangunan itu masih kokoh berdiri.

Tempat ibadah umat Katolik tersebut berada di Jalan Yos Sudarso Nomor 6, Magelang, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Jawa Tengah. Berdasarkan literartur, bangunan tersebut didirikan oleh Romo F.Voogel SJ pada 1890 an.

Gusta Wisnu Wardhana saat memberikan penjelasan tentang sejarah Gereja Santo Ignatius (Apahabar.com/Arimbihp)
Gusta Wisnu Wardhana saat memberikan penjelasan tentang sejarah Gereja Santo Ignatius (Apahabar.com/Arimbihp)

Pegiat sejarah Mlaku Magelang, Gusta Wardhana menuturkan, sebelum berdiri gereja induk, Romo F.Voogel SJ terlebih dahulu membuat pastoran di wilayah tersebut.

Sebagai informasi, pastoran adalah tempat tinggal Pastor atau pemuka yang menyebarkan agama Katolik.

Baca Juga: Indahnya Toleransi, Umat Islam Salat Idulfitri di Depan Gereja Koinonia

"Kemudian, pada 31 Juli 1899 Romo F.Voogel SJ membangun gereja sederhana di samping pastoran," kata Gusta saat acara sembari memimpin walking tour bertajuk Karisidenan Kedu, Sabtu (16/9).

Setahun setelah Gereja Santo Ignatius didirikan pada 22 Agustus 1890, di tempat itu diadakan misa kudus untuk pertama kalinya.

Menurut Gusta, kehadiran Gereja Santo Ignatius semakin memperkuat penyebaran agama Katolik di wilayah Kedu khususnya Kota Magelang.

“Kian hari umatnya bertambah banyak, dan pengurus gereja setiap hari menggelar misa, bahkan kalau Sabtu dan Minggu hingga dua kali,” terangnya.

Baca Juga: Indahnya Toleransi, Umat Muslim Kunjungi Gereja Katedral Usai Salat Iduladha di Istiqlal

Selain Romo F.Voogel SJ, Gusta menuturkan, bertambahnya masyarakat Jawa yang kemudian memeluk agama Katolik juga diperkuat dengan kehadiran Romo Van Litih SJ dan Romo JJ Howenaars ma SJ.

Keduanya adalah tokoh Katolik yang mengawali misi keagamaan di Kota Magelang dan populer di wilayah Munthilan. Lebih lanjut, Gusta menjelaskan, setiap hari jumlah pengikut Katolik kian bertambah hingga bangunan gereja terpaksa diperluas demi menampung kenyamanan umat dalam beribadah.

"15 Agustus 1926 bangunan gereja lama ditambah dengan bangunan selebar 3,5 meter pada sisi kanan dan kirinya," jelasnya.

Tak hanya menambah ruas bangunan, Gusta menuturkan, pengurus Gereja Santo Ignatius juga menggelar misa berbahasa Jawa sejak 1933.

Baca Juga: Umat Gereja Katolik Santo Mikael Panca Arga Gelar Visualisasi Kisah Sengsara Yesus

“Sebagian besar para Katekis yang mengisi khutbah tersebut itu adalah siswa-siswa Perguruan Muntilan, hasil didikan Romo Van Litih SJ,” jelasnya.

Sebagai informasi, katekis adalah pengajar agama profesional di dalam Gereja Katolik. Para katekis disebut pengajar profesional karena mendapat bekal pendidikan formal dalam kateketik serta mencari nafkah di bidang katekisasi.

Hadirnya Jepang sejak Perang Asia Timur Raya

Perjalanan misi Katolik tidak selamanya mulus, peribadatan dan kegiatan Gereja Santo Ignatius kembali mengalami pergeseran pada zaman revolusi fisik akibat Perang Asia Timur Raya yang disulut oleh Jepang.

Gusta menceritakan, perang tersebut sangat berpengaruh sebab saat Jepang masuk ke Indonesia, khususnya Magelang, hal-hal yang berbau Kolonial Belanda dilarang keras.

Baca Juga: Tim Jibom Polda NTT Sterilkan Sejumlah Gereja Jelang Malam Paskah

Mulai dari pelarangan penggunaan bahasa Belanda, pastur berkebangsaan Belanda banyak yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

"30 Oktober 1945, tentara Gurkha (Jepang) datang dan menduduki gedung Susteran Fransiskan, yang digunakan sebagai maskas tentara Jepang. Ini salah satu perubahan yang sangat terlihat," jelasnya.

Gejolak Perang Asia Timur Raya kembali meneror para pastor hingga mengakibatkan tragedi berdarah yang menimpa seluruh keluarga pastoran Magelang.

Lima orang Romo, dua Frater, dua Bruder, serta seorang koster diculik oleh segerombolan orang dan dibunuh di Kuburan Giriloyo Magelang. "Teror terus berlanjut, tiga tahun kemudian Romo Sandjaja dan Romo H Bouwens juga diculik dan dibunuh di desa Patosan, Sedan, Muntilan," paparnya.

Baca Juga: Rohaniawan Katolik Benny Susetyo: Kuatkan Solidaritas dengan Berbagi

Selepas peristiwa memilukan yang terjadi pada masa revolusi fisik tersebut, sedikit demi sedikit kehidupan peribadatan di gereja mulai pulih dan mulai berbenah. Tragedi yang datang bertubi-tubi tidak menyurutkan niat umat untuk beribadah.

"Pada 1 Agustus 1962, para umat merenovasi gereja dengan bantuan dari Kevikepan Semarang," katanya.

Ia menuturkan, para umat juga merombak berbagai sisi dari bangunan Santo Ignatius Magelang. “Tetapi masih ada yang dipertahankan sesuai bentuk asli seperti jendela-jendela mozaik, tangga melingkar untuk naik ke balkon, dan lonceng gereja,” ujarmya.

Bangunan sayap kiri dari Gereja Santo Ignatius yang masih asli (Apahabar.com/Arimbihp)
Bangunan sayap kiri dari Gereja Santo Ignatius yang masih asli (Apahabar.com/Arimbihp)

Misi yang terus berkembang

Usai dinilai berhasil menata infrastruktur bangunan, Gereja Santo Ignatius melakukan upaya untuk memperlebar pelayanan dan pemekaran wilayah umat.

Baca Juga: Cuma Rp2 Ribu! Umat Katolik di Jember Jual Nasi Bungkus untuk Berbuka Puasa

Pada tahun 1983, Gereja Santo Ignatius membagi wilayah ke dalam tujuh wilayah penggembalaan. Wilayah tersebut meliputi Magelang, Panjang, Rejowinangun, Tidar, Jurangombo, Kemirirejo, dan Cacaban.

Upaya pemekaran itu terus menemukan bentuknya seiring pemekaran wilayah pemerintahan diiringi munculnya kelurahan-kelurahan baru di Magelang. "Saat ini umat Santo Ignatius Magelang terbagi menjadi 13 wilayah penggembalaan dalam 36 lingkungan," jelasnya.

Tak tanggung-tanggung, hingga saat ini, umat Katolik di Magelang bahkan meluas hingga sampai lereng Gunung Sumbing seperti daerah Kajoran, Kaliangkrik.

"Kalau Sabtu dan Minggu, pukul 06.00 sampai sekitar jam 11.00 WIB pasti ramai, ada misa," pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner