Oleh Puja Mandela
Musa hampir menyerah. Ia meminta kepada Tuhan agar mengubah umatnya menjadi lebih baik, penuh rasa syukur, serta menghilangkan egosentrisme dan keangkuhan yang memang sangat melekat dengan sifat kaumnya.
Doa itu tak dikabulkan. Tuhan lalu berkata, “Kaulihat, betapa egoisnya manusia dengan segala keburukan mereka. Dapatkah kaubayangkan betapa sombongnya mereka nanti jika aku membersihkan keburukan-keburukan itu?”
Cerita lain tentang umat Nabi Musa adalah tentang penolakan mereka terhadap perintah jihad. Bukannya menerima perintah nabinya, Bani Israil justru menyuruh Musa berperang bersama Tuhan. Orang-orang Bani Israil berkata, “Wahai Musa, pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperang lah kamu berdua. Biarlah kami tetap menanti di sini saja.”
Suatu kali, ketika umat Nabi Musa berada di sebuah gurun, setiap hari Tuhan menurunkan makanan dari langit. Makanan yang dikirim Tuhan itu habis dalam tempo satu malam. Sama sekali tak ada yang tersisa. Bukannya bersyukur, sebagian di antara umatnya malah bosan dengan menu yang itu-itu saja. Akhirnya, kiriman makanan dari Tuhan berhenti. Umat Yahudi diliputi rasa takut. “Bagaimana caranya kami bisa makan?” begitu kata mereka.
Sebelumnya, Tuhan sudah berulangkali menampakkan mukjizatnya di depan Bani Israil. Terbelahnya Laut Merah menjadi peristiwa paling besar saat itu. Tapi, peristiwa di luar nalar itu tidak membuat mereka bersyukur. Setelah selamat dari kejaran pasukan Fir’aun, mereka kembali ke kultur lama: menyembah berhala.
Ribuan tahun setelah peristiwa itu terjadi, virus bernama Corona melanda dunia. Ia menyebar ke 199 negara dan menjangkiti sedikitnya 598.094 manusia. Sampai detik ini, Corona sudah menyebabkan 27 ribu nyawa melayang.
Di Italia, 9 ribu lebih manusia meninggal dunia. Di China, 3 ribuan warga mengembuskan napas terakhirnya. Sementara di AS, korbannya mencapai seribu orang. Lalu, di Indonesia Corona sudah membuka cabangnya di 28 provinsi. Jumlah korban terus bertambah. Setidaknya ada seribu lebih orang terinfeksi dengan korban jiwa di atas seratus orang.
Dunia membisu. Sekolah-sekolah diliburkan. Aktivitas belajar mengajar dilakukan dari rumah. Warung-warung kosong. Pusat perbelanjaan modern dan mal sepi. Perekonomian lesu.
Tempat ibadah sunyi. Bahkan, baru kali ini saya menyaksikan rumah Allah yang biasanya dikunjungi ribuan umat Muslim dari seluruh dunia begitu sepi. Sepi dan kosong. Tak ada manusia yang mengitari Ka’bah. Pemandangan itu sungguh menyayat hati. Masjid-masjid ditutup. Jemaah terpaksa harus beribadah di rumahnya sendiri-sendiri. Suara azan, meski masih terdengar, tapi alunan nadanya tak sama seperti biasanya.
Mewabahnya virus Corona di dunia mestinya bisa membuat kita kembali mengingatNya. Ada banyak pertanyaan yang perlu kita tanyakan kembali. Untuk apa kita hidup? Seberapa bermanfaatnya hidup kita? Sudah kah kita mensyukuri nikmatNya? Atau seberapa banyak doa-doa kita yang dikabulkan Tuhan tanpa kita sadari?
Seringkali saya, Anda, dan mungkin banyak orang di dunia mengolok-olok Yahudi. Ia dituding menjadi sumber petaka, biang kerusakan, pusat kesombongan dan keangkuhan. Padahal, tanpa kita sadari, kita lah pewaris mental dan karakter yang sering dialamatkan kepada bangsa Yahudi itu. Kita. Iya, kita.
Jangan-jangan kita memang lebih tertarik untuk meniru perilaku sebagian besar umat Nabi Musa yang manja, sombong dan ingin menang sendiri. Kalau itu benar, barangkali kita perlu membuat gerakan untuk memprotes Tuhan; membuat aksi demonstrasi di jalanan dan menudingNya kurang kerjaan, karena telah mengirimkan penyakit yang telah mengganggu aktivitas manusia di bumi. Kita harus mengancam Tuhan: jika Corona tidak dihilangkan, maka kita tak akan menyembahNya lagi.
Penulis adalah redaktur di bakabar.com