bakabar.com, JAKARTA - Longsornya jalan nasional Kilometer 171 Satui Tanah Bumbu tak ubahnya tragedi. Melumpuhkan ruas jalan Kalimantan Selatan-Kalimantan Timur, puluhan keluarga terpaksa mengungsi dibuatnya.
Nyaris sebulan berlalu, belum terlihat perbaikan dan pembenahan yang signifikan. Pemerintah masih sibuk saling tunjuk dengan perusahaan tentang siapa pihak yang paling bertanggung jawab.
Pantauan bakabar.com pada Sabtu (22/10), sejumlah pemotor kesulitan melintasi jalan yang terputus total sejak Minggu lalu (16/1). Longsor susulan subuh itu memakan semua badan jalan hingga ke tiang listrik.
Di lapangan, yang terlihat saat ini adalah pekarangan milik warga disulap menjadi jalan darurat. Hanya sepeda motor yang diperbolehkan melintas oleh pemilik tanah. Jika hujan, sudah pasti jalan berlubang yang hanya cukup dilalui oleh roda dua itu berair dan berlumpur.
Baca Juga: Warga HSS Kalsel Ramai-Ramai Jual Lahan, Batu Bara Membawa Sejahtera?
"Demi alasan kemanusiaan dan meski belum ada penggantian kerugian, pemilik tanah membolehkan pekarangannya dilintasi oleh pengendara umum. Karena kalau lewat jalan alternatif, kasihan roda dua, banyak pemotor yang jatuh," ujar kuasa hukum 23 keluarga terdampak longsoran 171 Satui, Agus Rismalian Nor.
Baca Juga: Amblasnya Jalan Nasional Km 171 Satui Tanbu, Tanggung Jawab Siapa?
Jalan alternatif tak kalah sulitnya dilintasi. Pada Minggu (16/10), sebuah taksi Colt menghantam sebuah mobil di depannya. Saking licinnya jalan tanah, Colt tersebut melaju hingga lepas kendali.
Jalan darurat yang dibuat sepekan belakangan sedianya sempat ditutup karena pemilik belum menerima kejelasan soal ganti rugi. "Tapi ya tadi, pemilik tanah akhirnya rela hati mengikhlaskan pekarangannya dipakai walau belum ada ganti rugi," ujarnya.
Teranyar, insiden longsornya jalan nasional Km 171 Satui turut menyita perhatian Menteri ESDM Arifin Tasrif. Ditemui media ini baru-baru tadi, orang nomor satu di Kementerian ESDM itu memastikan telah menerjunkan tim ke lapangan.
"Kita lagi kirim tim untuk mengecek dan memastikan [apakah, red] penyebabnya dari tambang," ujar Arifin.
Pernyataan Arifin bertalian dengan hasil analisis Walhi. Hasil analisis organisasi lingungan hidup independen itu mendapati longsor imbas masifnya aktivitas pertambangan.
Lebih rinci, Walhi mendapati fakta lubang tambang yang hanya berjarak 38 meter dari sisi utara dan 152 meter sisi selatan dari badan jalan. Termasuk fakta jika di dekat titik longsor masih terdapat tambang aktif yang hanya berjarak 183 meter.
View this post on Instagram
Mengacu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4/2012, jarak minimal tepi galian lubang tambang dengan permukiman warga adalah 500 meter. Perusahaan tambang seharusnya menutup lubang tambang setelah melakukan pengerukan.
Soal ada tidaknya pelanggaran, Arifin belum bisa menyimpulkan, setidaknya sampai timnya selesai bekerja. "Contohnya kemarin di Kalimantan Utara, kita kirim tim, kita cek, verifikasi, kemudian kita lihat, kondisinya kaya apa, disebabkan misalnya kaidah pertambangannya tidak baik, pasti ada aturannya," pungkas Arifin.
Mengenai kedatangan tim Kementerian ESDM, Agus Rismalian Noor menyatakan siap menunjukkan fakta-fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Agus tak mau tim Kementerian ESDM turun hanya sekadar formalitas namun investigasi nanti nihil hasil, sedang fakta di lapangan secara kasat mata tampak jelas longsor itu akibat tambang.
"Aku yakin Kementerian ESDM turun pasti ada juknis [petunjuk teknis] yang mereka pegang untuk investigasi," jelas Agus.
Tak hanya di Satui, Agus berharap Kementerian ESDM turut mengevaluasi menyeluruh izin usaha pertambangan (IUP) di seluruh Kalsel. Terutama IUP yang bersinggungan dengan permukiman penduduk dan jalan nasional, seperti yang ada di Satui.
Sebagai gambaran, Walhi juga menemukan sepanjang 456 ribu meter jalan negara di Kalsel telah dibebani dan dikepung perizinan tambang batu bara.
Baca Juga: Walhi: Tambang 'Ugal-ugalan' Biang Longsor Satui
Kementerian ESDM, kata Agus, harus berani tegas. Mencabut IUP yang terbukti menjadi penyebab jalan longsor dan permukiman warga yang rusak. "Tertibkan IUP yang tumpang tindih dengan permukiman masyarakat dan jalan nasional," ujarnya.
Selain ESDM, Agus melihat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga harus turun tangan. Hak masyarakat mendapat lingkungan hidup yang layak sesuai UU Nomor 32/2009 terampas akibat insiden 171 Satui.
Ya, dekatnya lokasi galian tambang dengan jalan nasional serta permukiman warga jelas merupakan suatu pelanggaran.
Siapa yang Bertanggungjawab?
Walhi mendapati sejumlah perusahaan tambang batu bara yang mengantongi izin usaha pertambangan di sekitar areal longsor 171 Satui.
Di Satui bagian barat, Walhi mengatakan perusahaan yang mengantongi izin dan masih terindikasi beraktivitas adalah PT Mitrajaya Abadi Bersama (PT MJAB).
PT MJAB mendapat izin menambang oleh Gubernur Kalsel, Sahbirin Noor dengan luas konsesi sekitar 198 hektare sejak 2020 silam lewat Surat Keputusan (SK) 503/6-IUP.OP4/DS-DPMPTSP/IV/III/2020.
Kemudian ada juga konsesi PT Arutmin yang baru saja diperpanjang pada November 2020 lalu dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) seluas 11.403 hektare dengan nomor SK 221 K/33/MEM/2020 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Mineral (ESDM).
Baca Juga: Pekan Depan, Pemprov Kalsel Targetkan Jalan Nasional 171 Satui Fungsional
Sementara insiden longsor atau guguran tanah yang menggerus 200 meter ruas jalan dan 23 permukiman warga masuk dalam konsesi IUP PT Arutmin Indonesia.
Agus melihat PT Arutmin juga wajib bertanggung jawab sekalipun mereka tidak melakukan aktivitas penambangan batu bara di lokasi longsor.
Sedangkan yang masih aktif beraktivitas melakukan penambangan hingga saat ini, kata Agus, adalah IUP PT MJAB. Disinyalir dari aktivitas penambangan itulah yang mengakibatkan jalan nasional putus dan permukiman warga rusak-rusak.
"Tapi kalau memang benar tim Kementerian ESDM turun dan melakukan penyelidikan, ada baiknya kita menanti hasil investigasi dan kajian tim ESDM itu," pungkas Agus.