bakabar.com, BANJARMASIN – Demang Lehman kian ditakuti Belanda. Pemerintahan kolonial saat itu sampai membuka sayembara untuk menangkap sang panglima Perang Banjar.
Cerita kepahlawanan Demang Lehman memang tersohor seantero Banjar. Terlebih berkat kegigihannya.
Belanda terpaksa pulang dengan tangan hampa usai merebut Benteng Tabanio.
Pasukan Belanda yang disokong kekuatan angkatan laut canggih merugi. Demang Lehman beserta pasukan kecilnya lolos dengan tidak meninggalkan korban.
Sepak terjang sang panglima di medan Perang Banjar selama belasan tahun, dari
1859-1863 tak perlu diragukan lagi.
Bahkan memiliki prinsip yang rela mati demi bangsanya pada tiang gantungan di Alun-alun Martapura, 27 Februari 1864.
“Suatu pengorbanan tanpa air mata yang akan selalu dikenang,” ucap Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM, Mansyur kepada bakabar.com.
Dengan prinsip itu segala siasat dan cara dilakukan Belanda memikat Pangeran Hidayat dan Demang Lehman agar menghentikan perlawanan terhadap pemerintah Belanda.
Namun sayang, semua itu tidak membuahkan hasil.
Bahkan cara lain yang dilakukan yakni berusaha menangkap kedua tokoh pejuang itu hidup atau mati.
Pemerintah Belanda pun mengeluarkan pengumuman kepada seluruh rakyat agar dapat membantu menangkap kedua tokoh dengan imbalan yang menggiurkan.
“Imbalan yang dijanjikan adalah lewat pengumuman harga kepala terhadap tokoh pejuang yang melawan Belanda. Di mana harga kepala Pangeran Hidayat sebesar f 10.000 dan Demang Lehman sebesar f 2.000,” cetusnya.
Nilai uang sebesar itu sangat tinggi dan dapat memikat hati setiap orang yang menginginkan kekayaan.
Dari pernyataan ini bisa diduga kemungkinan pemotongan kepala dilakukan untuk tujuan hadiah sebesar f 2.000.
“Namun kalau memang misalnya untuk hadiah, toh Syarif Hamid yang berhasil menangkap Demang Lehman sudah mendapat hadiah sebagai penguasa Batulicin,” tegas Mansyur.
Lalu untuk apa memotong kepala Demang Lehman?
Hal inilah yang akhirnya menjadi misteri untuk pendalaman penelitian dan riset sejarah lebih lanjut oleh para ahli sejarah.
“Yang pasti pemerintah kolonial Belanda menutupi hal ini,” pungkasnya.
Sekadar diketahui, pada saat menjalani masa tahanan, tidak ada satu orang pun yang menjenguk atau sekadar menanyakan kondisi Demang Lehman.
Sebab penduduk sangat takut disangkutpautkan dengan sosok Demang Lehman, demikian dituliskan wartawan Surat Kabar Sumatra Nieuws en Advertebtie Blad edisi 7 Mei 1864.
Kemudian H.G.J.L. Meyners, dalam tulisannya berjudul Bijdragen tot de Geschiedenis van het Bandjermasinsche Rijk 1863-1866, menyebutkan Demang Lehman sangat tenang dan tidak kehilangan kendali dirinya.
Ia melangkah ke darat (dari kapal di sungai) dan dengan bangga mengangkat kepalanya melewati kumpulan warga Martapura yang ada di jalan menuju tempat eksekusi (tiang gantungan).
Bahkan pada versi lain dituliskan, pejabat-pejabat militer Belanda yang menyaksikan hukuman gantung ini merasa kagum dengan ketabahan Demang Lehman menaiki tiang gantungan tanpa mata ditutup.
Urat mukanya tidak berubah menunjukkan ketabahan yang luar biasa.
Hal ini senada dengan pernyataan Meyners yang menuliskan, Demang Lehman menderita hukuman mati dengan ketenangan dan sikap mengagumkan.
Setelah meninggal, jenazahnya tanpa disalatkan. Kemudian dimakamkan, setelah dibawa dari sebuah rumah sakit di Martapura.
“Belum ditemukan data apa pun mengenai pemakaman Demang Lehman,” jelas Mansyur.
Selanjutnya, dalam Surat Kabar Sumatra Nieuws en Advertebtie Blad edisi 7 Mei 1864, menuliskan tidak ada satu pun dari penduduk Martapura yang mengklaim Demang Lehman sebagai keluarga.
Kemungkinan hal ini disebabkan karena rasa ketakutan masyarakat saat itu.
Demikian juga ditulis Meyners, setelah eksekusi, tiada ada satu keluarga pun yang menyaksikan dan tidak ada keluarga yang menyambut mayat Demang Lehman.
Pada satu sumber dituliskan bahwa setelah selesai digantung dan wafat, kepalanya dipotong oleh Belanda dan dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van Volkenkunde Leiden.
Kepala Demang Lehman disimpan di Museum Leiden di Negeri Belanda, sehingga mayatnya dimakamkan tanpa kepala.
“Sayang sumber ini meragukan, walaupun menuliskan rujukan dari Berita Acara Vonis Demang Lehman. Namun setelah ditelusuri penulis, agak meragukan karena tidak ada pernyataan tentang masalah pemancungan ini.”
“Kasus ini memang menjadi misteri karena dalam penelusuran penulis, baik dari catatan Berita Acara Vonis Demang Lehman maupun tulisan tulisan Meyners, tidak ada pernyataan apa pun tentang masalah pemotongan kepala ini,” pungkasnya.