bakabar.com, JAKARTA – Tak sedikit kerugian negara muncul dari rokok ilegal. Penanganan kasusnya baru menyentuh tataran pengecer.
Ratusan ribu batang rokok jenis sigaret keretek mesin (SKM) merek “Dalill Bold”, “Vios”, “HJS”, “C@fee Stik Twenty”, “Gudang Ganam”, dan “LM” dibakar di halaman tengah Gedung Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang, Banten, awal September silam.
Mengutip kantor berita Antara, rokok-rokok tersebut adalah rokok ilegal karena tidak dilekati pita cukai dan telah mendapat perintah untuk dimusnahkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang.
Salah satu kasus rokok ilegal penyumbang barang yang dimusnahkan tersebut dari perkara atas nama Hudaifi bin Mahrus yang tertangkap dalam operasi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai pada 20 Maret 2021 saat keluar Jalan Tol MH Thamrin, Kecamantan Pinang, Kota Tangerang, Banten.
Hudaifi membawa total 108 ribu batang rokok SKM yang tidak dilekati pita cukai di satu mobil minibus dengan disopiri Muksin.
Hudaifi menyebut rokok-rokok ilegal itu dibeli dari Yasin yang merupakan sales rokok. Ia mengenal Yasin dari “Facebook Group” penjual rokok di Madura, Jawa Timur, karena tergiur keuntungan menjual rokok ilegal yang ingin digunakan untuk biaya kuliah dan istrinya.
Hudaifi membeli 540 slop rokok yang jumlah seluruhnya 108.000 batang merek “Dalill Bold”, “Vios”, “HJS”, “C@fee Stik Twenty”, “Gudang Ganam”, dan “LM” dari Yasin dengan harga Rp24,84 juta, tetapi Hudaifi baru membayar Rp8 juta sehingga masih kurang sebesar Rp16,84 juta yang akan dibayar setelah mengantar rokok kepada pembeli di daerah Balajara, Tangerang.
Pria 21 tahun ini berniat menjual rokok tanpa cukai seharga Rp35,1 juta sehingga ia akan mendapat keuntungan Rp10,26 juta.
Memang sebelumnya Hudaifi pernah menjual rokok ilegal pada Februari-Maret 2021 dan sudah diantar ke beberapa daerah, seperti di Pandeglang, Sumedang, Bekasi Utara, Balaraja, Poris, dan Tangerang.
Dari 108 ribu batang rokok ilegal tersebut, negara mengalami kerugian Rp66.724.560 karena produsen tidak membeli pita cukai dan melekatkannya pada rokok. Akibat perbuatannya, pada 26 Juli 2021, Hudafi diputus bersalah dan dijatuhi hukuman 1 tahun 9 bulan ditambah denda Rp133.449.120 subsider 2 bulan kurungan. Saat ini Hudaifi sedang menjalani hukuman di Lapas Pemuda Tangerang.
Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejari Tangerang Sobrani Binzar mengakui bahwa penanganan kasus-kasus rokok ilegal seperti Hudaifi baru menyentuh tataran “pengecer”.
“Ini memang masih pengecer, kami belum pernah menangani hingga ke produsen atau ke pabrik rokok ilegal langsung karena memang untuk penyidikan adalah kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Bea Cukai,” kata Sobrani, dikutip bakabar.com dari laman yang sama.
Sobrani mengaku bahwa kasus cukai ilegal relatif cepat dan tidak sulit untuk ditangani karena merupakan kasus tangkap tangan sehingga para pelaku tidak dapat menghindar.
Kondisi rokok ilegal
Di masyarakat, setidaknya ada lima kategori rokok yang masuk ke dalam rokok ilegal, yaitu (1) rokok polos yang tidak berpita cukai, (2) rokok dengan pita cukai palsu, (3) rokok yang menggunakan pita cukai bekas dari bungkus rokok lain, (4) rokok berpita cukai salah personalisasi yang menggunakan pita cukai dari pabrik rokok lain serta (5) rokok dengan pita cukai salah peruntukkan atau yang menggunakan pita cukai jenis rokok lain yang tidak sesuai dengan jenis rokoknya.
Berdasarkan survei dua tahunan yang dilakukan Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada (P2EB UGM) pada 2016-2020, peredaran rokok ilegal terus menurun, yakni pada 2016 sekitar 12,14 persen menjadi 7,04 persen pada tahun 2018, artinya setiap 100 bungkus rokok yang beredar, sebanyak 7 di antaranya adalah rokok ilegal.
Jumlah tersebut setara dengan produksi 16,8 miliar batang rokok. Dengan jumlah tersebut, potensi kerugian negara karena peredaran rokok ilegal Rp909,45 miliar-Rp980 miliar.
Nilai tersebut didapat dari perhitungan dua hal, yaitu akibat volume pelanggaran dan akibat kenaikan harga. Harga rokok yang naik akibat cukai dapat mendorong peningkatan prevalensi cukai rokok ilegal.
Survei itu dilakukan di 73 kabupaten/kota dengan komposisi 17 kabupaten/kota merupakan kategori tingkat konsumsi rokok tinggi, 38 kabupaten/kota dengan kategori tingkat konsumsi menengah, dan 18 kabupaten/kota dengan tingkat konsumsi rendah.
Selanjutnya pada 2020 peredaran rokok ilegal nasional kembali menurun menjadi sebesar 4,86 persen atau setiap 100 bungkus rokok yang beredar, sebanyak 4-5 batang di antaranya adalah rokok ilegal.
Dengan jumlah tersebut, potensi kerugian negara karena peredaran rokok ilegal Rp339,18 miliar.
Survei dilakukan di 64 kabupaten/kota dengan komposisi 19 kabupaten/kota merupakan kategori tingkat konsumsi rokok tinggi, 26 kabupaten/kota dengan kategori tingkat konsumsi menengah dan 19 kabupaten/kota dengan tingkat konsumsi rendah.
Selain survei kuantitatif, P2EB UGM pernah melakukan studi kualitatif dengan mewawancarai para perokok yang menunjukkan meningkatnya harga rokok karena pertambahan cukai rokok tak langsung membuat perokok sama sekali tidak mengonsumsi rokok.
“Kami menanyakan kalau hanya punya uang Rp20 ribu di daerah terpencil, memilih untuk makan atau merokok? Mereka jawab 'ya dua-duanya,” jelasnya.
Artinya, mereka sendiri tidak bisa memilih hanya makan saja, jadi pasti akan tetap merokok.
“Kami juga bertanya kalau misalnya harga rokok naik 300 persen apakah berhenti merokok? Jawabnya tidak, tapi hanya mengurangi konsumsi rokok, misalnya yang biasanya sehari sebungkus menjadi setengah bungkus,” kata Direktur P2EB FEB UGM Artidiatun.
Hal tersebut terkonfirmasi pula dengan Survei Komnas Pengendalian Tembakau pada 2020 yang menunjukkan bahwa meski pandemi Covid-19 berpengaruh pada penghasilan responden secara ekonomi, ternyata 49,8 persen responden masih menghabiskan uang belanja untuk rokok yang sama besarnya seperti sebelum pandemi, dan 13,1 persen responden justru naik jumlah konsumsi dan uang belanjanya untuk rokok saat pandemi.
Kecenderungan meningkatnya konsumsi rokok di masa pandemi menjadi kontraproduktif terhadap beban ekonomi masyarakat yang banyak terdampak akibat pandemi. Hal ini memperburuk situasi ekonomi yang telah dirugikan akibat konsumsi rokok.
Berantas rokok ilegal
Upaya untuk menanggulangi rokok ilegal dilakukan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) dengan sejumlah operasi.
Operasi Ampadan (bahasa Sangsekerta pita cukai) serta Operasi Gempur I, II, dan III menunjukkan 64,01 persen berasal dari pabrik yang izinnya tidak ada. Jenis rokoknya juga rokok polos tanpa pita cukai. Harga kisaran Rp7.000- Rp8.000 lokasi di rural dan perkebunan dengan konsumen berpendapatan rendah. Lokasinya, antara lain Kudus (Jawa Tengah), Malang (Jatim), dan Sidoarjo (Jatim) yang telah mengakar dan turun temurun dan siapa saja bisa.
Pada 2018 DJBC sudah menyita 364,98 juta batang rokok dengan barang hasil penindakan (BHP). Total ada 361,26 juta batang rokok ilegal yang menjadi barang hasil penindakan pada 2019. Selanjutnya ada 384,51 juta batang rokok ilegal yang menjadi BHP hingga November 2020.
Sementara sampai Agustus 2021, dari total 16.988 penindakan hingga Agustus 2021, penindakan rokok ilegal mencapai 44,91 persen dengan barang hasil penindakan (BHP) rokok ilegal senilai Rp13,48 triliun.
Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) Krisna Puji Rahmayanti mengungkapkan masyarakat memiliki pemahaman yang terbatas mengenai apa itu rokok ilegal.
Krisna dan tim sudah melakukan penelitian di empat kabupaten, yaitu Kabupaten Malang (Jatim), Pasuruan (Jatim), Jepara (Jateng), dan Kudus (Jateng) pada periode 2020-2021 yang kerap menjadi lokasi peredaran rokok ilegal.
Dari informasi yang Krisna dapatkan bahwa rokok ilegal diperjualbelikan tidak hanya secara langsung tetapi sudah melalui daring dengan melibatkan jasa pengiriman barang meski tidak menyebutkan bahwa barang itu rokok ilegal.
Harga rokok ilegal pun memang jauh lebih murah ketimbang rokok legal yang harga satu bungkusnya bisa mencapai Rp30 ribu.
“Harga 1 bungkus rokok ilegal dengan isi 20 batang bisa Rp3.333 karena dijual Rp10 ribu per 3 bungkus atau satu batang hanya sekitar Rp150,” tambah Krisna.
Meski begitu, ia mengaku ada rokok ilegal yang harganya Rp4.000/bungkus, Rp5.000/bungkus isi 20 batang, Rp5.000/bungkus isi 16 batang, Rp6.000/bungkus isi 20 batang hingga Rp7.500/bungkus isi 20 batang
“Rokok ilegal akhirnya sangat murah dan mudah diperoleh mulai dari lingkungan terdekat dengan informasi dari mulut ke mulut, membeli dari teman, temannya beli dari teman, dan beredar di lingkungan perkopian dan keluarga,” ungkap Krisna.
Krisna juga menemukan rokok ilegal diperjualbelikan di warung atau toko meski tidak terpampang di etalase toko. Namun pembeli yang ingin membeli rokok ilegal tinggal menyebut “Rokok Rp3.000 ada tidak?”.
Khusus untuk peredaran rokok ilegal di hajatan, menurut Krisna, hal itu tergantung dengan budaya setempat.
“Budaya rokok dan merokok lekat dengan masyarakat Jepara, terutama dalam tradisi ‘potangan’ atau datang ke hajatan, biasanya rokok ‘poden’ atau rokok yang dijadikan hadiah hajatan hanya rokok legal untuk menjaga gengsi, sedangkan yang ilegal dikonsumsi keseharian karena ada yang mengatakan kalau menggunakan rokok ilegal akan dibicarakan 7 turunan,” jelas Krisna.
Di empat kabupaten itu, Krisna menemukan rokok ilegal diasosiasikan dengan rokok untuk usia tua, strata sosial rendah, dan pekerja kasar di pinggiran sehingga rokok ilegal tidak masuk dalam pergaulan anak-anak muda dan beredar di komunitas tertentu.
“Artinya masyarakat rentan mengonsumsi rokok ilegal meski akses lebih tertutup, tetapi rokoknya murah sehingga masyarakat lebih mampu untuk mengonsumsinya,” ungkap Krisna.
Dalam penelitian yang sama, Krisna menemukan bahwa alasan utama masyarakat mengonsumsi rokok ilegal adalah harganya yang murah.
“‘Rokok ilegal dan legal sama-sama bahaya jadi mending (lebih baik) cari yang murah’, ‘tidak mungkin orang yang kerjanya ngarit (menyabit) makanan sapi tapi belinya rokok Rp30 ribu, pasti Rp4 ribu’, seperti itu kata informan saya,” ungkap Krisna.
Namun dari data yang diperoleh, menurut Krisna, klaim rokok ilegal muncul karena adanya kenaikan harga rokok di Indonesia tidak terbukti karena dari data 2013-2018 menunjukkan kenaikan harga cukai tidak berkorelasi dengan rokok ilegal tapi berkorelasi pada penegakan hukum.
“Jumlah rokok ilegal yang disita dari proses penindakan sejak 2016 sampai 2020 jumlahnya naik signifikan. Hal ini menunjukkan memang target kinerja DJBC meningkat dan sisi operasi dan jumlah batang yang disita meningkat meski pada saat yang sama harga rokok dari 2011-2018 meningkat.
Apakah peningkatan harga menghasilkan kondisi yang sama dengan peredaran rokok ilegal? Dari survei yang dilakukan UGM pada 2010-2018, estimasi rokok ilegal 2010-2016 meningkat tetapi dari 2016-2018 menurun menunjukkan rokok ilegal berkurang meski harga rokok meningkat,” jelas Krisna.
Artinya, menurut Krisna, cukai rokok dapat menjadi instrumen untuk mengendalikan konsumsi rokok tetapi tidak berkorelasi langsung dengan peredaran rokok ilegal.
Hal tersebut berlawanan dengan pendapat kalangan industri rokok yang menentang rencana kenaikan cukai rokok karena dianggap dapat meningkatkan jumlah rokok ilegal.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Hayoan mengatakan sejak kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2020 sebesar 23 persen dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35 persen ditambah kenaikan tarif CHT 12,5 persen pada 2021, beban para pengusaha rokok bertambah berat, apalagi ditambah adanya pandemi Covid-19.
Henry mengusulkan agar pemerintah tidak menaikkan tarif CHT karena akan membantu para pengusaha rokok untuk melakukan pemulihan akibat kenaikan tarif dan pandemi yang berlangsung dua tahun ini.
Sebaliknya, Krisna mengungkapkan pemerintah sebaiknya membuat prioritas dan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang antara lain berisi pembuatan peta jalan CHT termasuk soal kenaikan cukai rokok.
“Dari kajian kami, cukai rokok dapat dimasukkan ke alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang bisa digunakan untuk penindakan hukum rokok ilegal sekaligus menekan prevalensi merokok,” ungkap Krisna.
Operasionalisasi DBHCHT sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 206/PMK.07/2020 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau. Dalam aturan tersebut ditentukan bahwa dari DBHCHT suatu daerah sebesar 50 persen untuk bidang kesejahteraan masyarakat, 25 persen untuk bidang penegakan hukum, dan 25 persen untuk bidang kesehatan.
“Di Malang, DBHCHT-nya sebesar Rp20 miliar, di Pasuruan Rp50,11 miliar, dan Kudus Rp38,88 miliar dan daerah-daerah ini menggunakan dana tersebut sesuai dengan karakteristik masing-masing, misalnya untuk sosialisasi, operasi bersama hingga pembentukan kawasan tertentu hasil tembakau sehingga memfasilitasi produsen-produsen rokok kecil tidak memproduksi rokok ilegal,” tambah Krisna.
Meski aturan tersebut baik, dalam pelaksanaan di lapangan, Krisna mengakui bahwa daerah-daerah yang memiliki DBHCHT adalah daerah produsen tembakau, sementara rokok ilegal banyak dipasarkan di daerah yang bukan produsen tembakau sehingga daerah itu tidak punya alokasi khusus untuk memberantas rokok ilegal.
“Maka perlu dipikirkan apakah ada pembagian anggaran untuk daerah yang biasa menjadi target pemasaran rokok ilegal karena mereka tidak punya DBHCHT misalnya dengan menggunakan pajak rokok,” kata Krisna.
Senada dengan Krisna, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI Abdillah Ahsan mengungkakan rokok ilegal memberikan dampak negatif baik bagi masyarakat maupun bagi negara.
Dampak tersebut, antara lain, meningkatkan keterjangkauan masyarakat mengonsumsi rokok karena harga rokok ilegal lebih murah; meningkatkan konsumsi rokok; meningkatkan tingkat kematian atau kesakitan akibat konsumsi rokok yang bertambah, mengurangi penerimaan negara karena rokok ilegal ada potensi penerimaan negara yang hilang.
Selanjutnya ketiadaan peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok ilegal menyebabkan masyarakat tidak tersosialisasikan bahaya rokok mengingat rokok ilegal kadang hanya dibungkus plastik biasa atau bahkan dibungkus bungkus permen, meningkatkan korupsi di negara itu, dan membiayai aktivitas kriminal dari hasil penjualan rokok ilegal.
“Kesimpulan dari rokok ilegal ini adalah ‘lose-lose situation’, harga lebih murah, konsumsi meningkat, dan pemerintah kehilangan pendapatan ditambah dengan meningkatnya kesakitan dan kematian dengan konsumsi rokok. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemberantasan rokok ilegal karena pemberantasan rokok ilegal dapat memberikan manfaat kesehatan masyarakat sekaligus penerimaan negara,” jelas Abdillah.
Ada sejumlah masukan yang diberikan oleh Abdillah, yaitu pertama pemberian sanksi yang lebih tegas bagi pelaku pembuatan dan pengedar rokok ilegal, terutama rokok ilegal yang dalam kategori “tidak pada peruntukannya” dan menunjukkan pengusaha rokok ilegal yang tertangkap kepada masyarakat untuk memberikan efek jera.
Masukan selanjutnya adalah sinkronisasi alokasi dari DBHCHT dan pajak rokok untuk penindakan rokok ilegal, termasuk untuk alokasi Satpol PP, mengubah target kinerja penanganan rokok ilegal bukan pada kegiatan tetapi pada kerugian negara dari rokok ilegal; hingga pendaftaran/tracking mesin guna mencegah penggunaan mesin untuk produksi rokok ilegal.
Memberantas rokok ilegal pada akhirnya turut meningkatkan penerimaan keuangan negara meski pemerintah seharusnya tetap berpegang pada amanat Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 (sebagai perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 1995) tentang Cukai yang menyebutkan bahwa tujuan pemerintah menetapkan cukai tembakau yakni untuk mengurangi konsumsi rokok dan mengendalikan distribusi produk tembakau. (*)