bakabar.com, JAKARTA – Sepanjang bulan suci Ramadan, kata imsak akan kembali naik daun. Imsak bahkan menajdi kata yang sangat berwibawa selama bulan suci tersebut.
Waktu imsak dapat dimaknai sebagai beberapa menit sebelum azan shalat Subuh. Dalam pada itu, seseorang yang telah berniat berpuasa berhenti total dari makan dan minum.
Dikutip dari khazanah.republika.co.id, secara harfiah, imsak mempunyai arti ‘pengendalian diri.’ Dalam perspektif fikih, puasa juga sering didefinisikan sebagai “al-imsak ‘anil akl wa al-syurb wa al-jima.” Artinya, mengendalikan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri.
Tiga hal itulah yang menjadi gatra utama pengendalian diri seseorang ketika sedang berpuasa, sekaligus menjadi kriteria keabsahan puasanya.
Jika seseorang telah memenuhi kriteria itu, jadilah ia ‘shaimin’ atau ‘shaimat’ minimalis. Namun, seorang minimalis sekalipun mempunyai peluang untuk menjadi manusia bermartabat jika ia benar-benar mampu melakukan imsak tersebut secara total.
Kalangan maksimalis tentu berpuasa bukan semata-mata mencegah diri dari makan, minum, dan hubungan seksual suami-istri. Mereka tentu mengejar seluruh keutamaan puasa.
Mereka juga akan ber-imsak dari segala bentuk keakuan (ananiyat), seperti egoisme diri, egoisme kelompok atau golongan (ananiyah hizbiyah). Puasa akan dimanifestasikan dalam imsak dari segala bentuk keangkuhan (takabburat), seperti arogansi intelektual, politik, atau kekuasaan.
Maka, Ramadan ini perlu kita jadikan sebagai momentum untuk melakukan ‘imsak’ nasional. Yakni, agar seluruh bangsa menahan diri dalam egoisme dan segala hal yang melahirkan keburukan.
Baik yang di tingkat elite hingga masyarakat bawah. Salah satu realisasi imsak tersebut adalah berkata dengan baik. Seperti diisyaratkan dalam sebuah hadis. Di antara tanda-tanda orang beriman adalah berkata baik atau diam.(Rep)
Editor: Aprianoor