bakabar.com, JAKARTA - Lima puluh tujuh tahun silam, tepat tertanggal 8 Desember, seorang aktivis hak asasi manusia (HAM) terkemuka di Indonesia, lahir ke dunia. Dia adalah Munir Said Thalib.
Munir, begitu sapaannya, terkenal sebagai sosok yang memiliki kepedulian sosial tinggi. Pria berdarah Arab itu bahkan sudah aktif menyalurkan pemikiran kritisnya sejak duduk di bangku kuliah; saat menempuh jurusan hukum di Universitas Brawijaya.
Kala itu, anak keenam dari tujuh bersaudara tersebut tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Al Irsyad. Rekan satu organisasinya, Husein Anis, menduga, “Bisa jadi Munir semacam menggabungkan dua pandangan itu: antara Socialism dan Islamism.”
Pernyataan yang dilontarkan dalam dokumenter berjudul Kiri Hijau Kanan Merah itu bersilangan dengan klaim KontraS. Melalui buku bertajuk Bunuh Munir: Sebuah Buku Putih, dikatakan sang aktivis menilai HAM “untuk menciptakan kesetaraan bagi masyarakat lintas gender, rasial, etnis, dan agama.”
Kawan kuliah Munir, Deddy Prihambudi, punya pendapat beda lagi soal perspektif HAM yang dianut temannya itu. “Bukan (ideologi) kiri atau kanan. Munir itu bukan intelektual kok. Ndak punya buku dia, kalau sama saya diajak diskusi, duwur-duwur (tinggi-tinggi) begitu, enggak nyampe,” kenangnya.
“Artinya kita tidak baca buku tebal-tebal dulu, (lalu merasa) oh kita berpihak pada orang kecil, tidak usah,” sambungnya. Terlepas dari jalan berpikirnya, Munir memang tak perlu diragukan lagi soal keberaniannya dalam memperjuangkan HAM di Indonesia.
Selepas luluh kuliah, Munir malang melintang dari satu organisasi hukum ke organisasi lainnya. Sampai akhirnya, pada 20 Maret 1998, dirinya menjadi salah satu pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Dari sanalah, Munir mulai aktif menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat di negeri ini. Dia mendampingi keluarga korban, juga getol memberikan saran dan kritik terkait kebijakan pemerintah. Aktivitas itu mulai terendus, hingga dirinya pun mulai dicari-cari tentara.
KontraS dan Penanganan Kasus HAM Berat
KontraS semula berfokus pada kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa selama Orde Baru. Namun, dalam perkembangannya, organisasi ini juga menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di banyak daerah.
Munir pun aktif menangani sederet kasus HAM berat, salah satunya penghilangan paksa dan penculikan aktivis HAM pada 1997-1998 sekaligus korban penembakan Tragedi Semanggi 1998. Dia turut mengadvokasi kasus pelanggaran HAM di Aceh pada masa Operasi Jaring Merah (1990-1998) dan Operasi Terpadu (2003-2004).
Selain itu, Munir sempat menjadi penasihat hukum keluarga korban Tragedi Tanjung Priok yang terjadi pada 14 September 1984. Tragedi yang dilatarbelakangi penolakan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal ini menewaskan 24 orang.
Bersama para aktivis HAM lainnya, Munir pun memperjuangkan keadilan untuk Marsinah, seorang buruh yang diculik dan dibunuh pada 1993. Mereka melalukan advokasi serta investigasi terhadap kasus ini, yang diduga dilakukan oleh aparat militer.
Tak berhenti di situ, pada Juni 2002, Munir bersama 17 tokoh pejuang HAM Indonesia lainnya mendirikan Imparsial. Ini adalah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus memperjuangkan penegakan HAM terkait berbagai isu di Indonesia, termasuk kekerasan di Papua dan Aceh.
Tanda Tanya Kematian Munir
Sayangnya, langkah Munir untuk memperjuangkan HAM di negeri ini mesti terhenti per 7 September 2004. Kala itu, dirinya yang tengah dalam perjalanan menuju Belanda dalam keadaan sehat, tiba-tiba sakit saat penerbangan.
Munir sempat mendapatkan perawatan dari seorang dokter yang juga menumpang di pesawat tersebut, tetapi nyawanya tidak tertolong. Dia mengembuskan napas terakhir pada pukul 08.10 waktu setempat, ketika pesawat berada di ketinggian 40.000 kaki di atas tanah Rumania.
Kematian yang begitu mendadak tentu menimbulkan tanda tanya di benak banyak orang. Benar saja, berdasarkan hasil autopsi, ditemukan racun arsenik dalam tubuh sang aktivis. Diduga, dia diracun saat dalam penerbangan menuju Belanda.
Setelah melewati penyelidikan dan penyidikan panjang lagi berbelit, pada 20 Desember 2005, seorang pilot pesawat Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, dijatuhi vonis 14 tahun penjara sebagai aktor pembunuhan Munir.
Kendati begitu, bukan berarti kasus pembunuhan Munir selesai begitu saja. Tak sedikit pihak, termasuk KontraS, menduga orang-orang yang sebetulnya bertanggung jawab atas kematian sang aktivis justru belum diproses secara hukum.
Hingga kini, kasus tersebut boleh dibilang belum menemukan titik terang. Kematian Munir terus menjadi ‘bahan jualan’ politikus menjelang pemilihan kepala negara, tetapi faktanya, belum ada yang berhasil menutup bab kelam dalam sejarah HAM di Indonesia ini.