Bangunan Bersejarah

Masjid Paromosono, Saksi Perpindahan Kartasura ke Keraton Kasunanan

Masjid di sebelah barat kori kamandungan Keraton Kasunanan Surakarta ini adalah masjid yang menjadi saksi perpindahan Keraton Kartasura ke Keraton Kasunanan.

Featured-Image
Serambi depan Masjid Paromosono yang telah direnovasi menggunakan lantai keramik. Foto : apahabar.com/Fernando

bakabar.com, JAKARTA - Sebuah bangunan masjid yang terletak di sebelah barat kori kamandungan Keraton Kasunanan Surakarta menjadi saksi perpindahan Keraton Kartasura ke Keraton Kasunanan Surakarta.

Pemerhati sejarah dan budaya Kota Solo, Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) L Nuky Mahendranata Nagoro canggah dalem Pakubuwono X menerangkan dulunya ibu kota nagari atau kota nagari Kartasura berpindah karena sempat terjadi pemberontakan geger pecinan pada tahun 1743.

Hal itu terjadi setelah Sisuhunan Pakubuwono II berhasil menduduki keraton yang diduduki musuh, laskar Cina dan Raden Mas Garendi.

Baca Juga: Napak Tilas Masjid Laweyan Solo, Dibangun Bekas Bangunan Pura

Pakubuwono II merasa bahwa keraton sudah tidak bersih lagi dan perlu untuk memindahkan di kota baru. Akhirnya dipilihlah kota atau Desa Sala. Ibu kota nagari baru yang kemudian diganti dengan nama Surakarta.

"Kemudian terjadilah perpindahan pada 17 Februari 1745," katanya saat dihubungi bakabar.com, Sabtu, (8/4).

Seiring dengan perpindahan ibu kota nagari, Sinuhun Pakubuwono II membuat beberapa bangunan yang sifatnya sementara. Karena pada waktu itu masih dalam masa perubahan politik dan masih banyak sekali pemberontakan.

"Pertama, beliau membuat masjid untuk keluarga inti yang diberi nama Masjid Pujosono. Berada di dalam cepuri atau di area keraton. Masjid itu tidak bisa diakses di luar selain keluarga inti," katanya.

Penamaan Masjid Paromosono Berakar dari Bahasa Sansekerta

Bangunan utama Masjid Paromosono
Bangunan utama Masjid Paromosono saat dipakai sholat dzuhur. (Foto: bakabar.com/Fernando)

Kemudian Sinuhun Pakubuwono II membuat masjid yang sifatnya lebih umum dan bisa diakses oleh sentono dalem, abdi dalem, dan juga warga Baluwarti.

Masjid itulah yang kemudian diberi nama oleh abdi dalem Suronoto dengan nama Masjid Paromosono pada tahun 1745. Suronoto merupakan seorang abdi dalem yang bertugas di bidang keagamaan yang bertanggung jawab langsung kepada kyai penghulu tafsir anom.

Baca Juga: Mengenal Tradisi Pembagian Bubur Samin Gratis di Masjid Daarulsalam Solo

Nama Paromosono tersebut berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata. Pertama, 'Paromo' yang berarti orang-orang baik. Kedua, 'Sono' yang berarti tempat.

Bila keduanya digabungkan, Masjid Paromosono memiliki arti tempat bertemunya orang-orang baik.

Masjid Pertama untuk Rakyat

Kanjeng Nuky menjelaskan keberadaan Masjid Paromosono tidak hanya diperuntukkan bagi sentono dalem atau keluarga raja yang berada di Baluwarti, melainkan juga untuk abdi dalem serta rakyat pada umumnya.

"Jadi bisa dikatakan itu adalah masjid pertama yang dibuat di Kota Nagari Surakarta yang diperuntukan untuk semua orang," terangnya.

Sementara itu Ahmad Nadzim (56) takmir Masjid Paromosono menjelaskan masjid berkapasitas 200-300 jamaah ini masih sering digunakan pihak keraton.

Baca Juga: Gratis! Komunitas di Pamekasan Rela Keliling Bersihkan Masjid

Di antaranya saat menjelang memasuki bulan Ramadan, keraton Kasunanan Solo mengadakan doa untuk para leluhur. Dalam prosesi doa tersebut juga disediakan ketan, kolak, sama apem.

"Setelah selesai puasa, menjelang Idulfitri juga ada pembacaan doa dari keraton," ujar Ahmad Nadzim.

Nadzim menambahkan Masjid Poromosono juga terbuka untuk masyarakat umum yang ingin menggelar acara keagamaan.

Masjid Paromosono nampak dari depan. (Foto: apahabar.cp,/Fernando)
Masjid Paromosono nampak dari depan. (Foto: apahabar.cp,/Fernando)

Setiap malam Jumat misalnya, di Masjid Poromosono rutin mengadakan yasinan dan tahlilan.

Tak hanya itu, setiap akhir pekan yakni Sabtu malam juga diadakan kegiatan pengajian rutin.

"Kalau masyarakat ingin menghendaki tidak cukup mengadakan yasin dan tahlil masjid juga bisa ditempati," katanya.

Bangunan yang Masih Bertahan

Pintu kayu jati
Pintu kayu jati Di Masjid Paromosono pemberian Pakubuwono ke IV. (Foto: bakabar.com/Fernando)

Nadzam menerangkan dulunya bangunan masjid tidak sebesar saat ini. Sebelumnya, hanya ada bangunan utama di bagian tengah. Kemudian seiring berjalannya waktu setiap pakubuwono menambahkan beberapa bangunan.

"Dulu tidak sebesar ini cuma serambi tengah. Lalu ditambah bangunan sampai Pakubuwono ke IX. Dulu asalnya lantai biasa, dari tanah. Baru sekitar tahun 80-an, kita merevonasi lantai," ungkapnya.

Selain lantai, genteng bagian depan yang semula sirat kayu juga sempat diganti. Untuk tiang masjid sendiri masih mempertahankan keasliannya dari kayu jati. Begitu pula bedug dari kulit kerbau dari zaman Pakubuwono II. Sedangkan untuk pintu berasal dari Pakubuwono IV.

Editor
Komentar
Banner
Banner