Hot Borneo

Larangan Ekspor Sawit, Silang Pendapat Ekonom Kalsel dengan Serikat Petani

apahabar.com, BANJARMASIN – Larangan ekspor minyak sawit alias CPO dan segala bentuk turunannya berlaku mulai pukul…

Featured-Image
Pemerintah melarang semua ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Larangan itu termasuk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), RPO, RBD Palm Olein, POME dan Used Cooking Oil. Foto: Detik.com

bakabar.com, BANJARMASIN – Larangan ekspor minyak sawit alias CPO dan segala bentuk turunannya berlaku mulai pukul 00.00, Rabu (27/4).

Baru akan diluncurkan, kebijakan terbaru tersebut langsung direspons kontra sejumlah pihak. Salah satunya Ekonom Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Dr Muzdalifah.

“Ketika ini diberlakukan maka harga sawit sebagai bahan baku CPO justru akan menurun,” ujarnya dihubungi bakabar.com, Rabu malam.

Larangan ekspor, menurutnya, menjadi kabar yang menggembirakan bagi konsumen. Namun tidak untuk petani atau produsen.

“Karena kita nomor 1 ekspor sawit, artinya volume perdagangan luar negeri kita dari komoditas ini cukup besar. Jadi, kalau pelarangan ini mencakup semuanya maka kebutuhan domestik kita tidak akan sebesar kebutuhan dunia,” ujarnya.

Terlebih lagi jika kebijakan pelarangan ekspor diberlakukan pemerintah sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

“Hal ini akan berdampak pada petani tadi dan dari sisi kontribusi pada perekonomian akan berdampak besar, terutama jika pembatasan ini belum diketahui sampai kapan,” sambung doktor ilmu ekonomi jebolan Universitas Airlangga ini.

Kalimantan Selatan masuk dalam 10 besar produksi kelapa sawit Indonesia. Provinsi ini berada di urutan ke-8 dilihat pada level kabupaten atau kota.

Tiga daerah yang kontribusinya besar seperti Kotabaru, Tanah Bumbu dan Tanah Laut, menurutnya akan terdampak terutama dari peranan sektor pertanian subsektor perkebunan.

“Jika pelarangan ini berlangsung lama, karena abu-abu tadi pembatasannya, tentu nantinya berdampak pada merosotnya perekonomian Kalsel,” ujarnya.

Ketimbang larangan ekspor, Muzdalifah lebih sepakat dengan kebijakan menjaga pasokan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).

"Dengan kenaikan DMO dari 20 persen menjadi 30 persen sebenarnya sudah cukup baik untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri," ujarnya.

Hanya, mesti ada penekanan pada kepatuhan produsen dan distributor terkait pemenuhan pasokan dalam negeri.

“Saya lebih sepakat jika kebijakan DMO bisa dikembalikan dengan dibarengi pengawasan ketat dan lebih tegas. Untuk domestik dialokasikan kebutuhannya baru ekspor,” ujarnya.

Lain lagi dengan Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) perwakilan Kalimantan Selatan, Dwi Putra Kurniawan. Menurutnya, kebijakan DMO maupun larangan ekspor sama saja.

“Sama-sama tidak berpihak ke kesejahteraan petani,” ujar Dwi kepada bakabar.com, dihubungi terpisah, Rabu malam.

Sebab, selama ini petani sawit di SPI Kalsel sudah terbiasa untuk tak bergantung hidup pada korporasi atau pengusaha.

"Kalau kami lebih mendorong kemandirian petani sawit dan lembaga usahanya berbentuk koperasi petani yang menjadi produsen CPO maupun produk turunannya seperti minyak goreng," kata Dwi.

Menurutnya, selama perkebunan sawit masih dimonopoli korporasi -baik perusahaan swasta maupun BUMN- pemenuhan kebutuhan DMO terbukti gagal.

"Apalagi menyejahterakan petani, yang ada hanya memperkaya pengusaha dan konglomerat itu sendiri," singgungnya.

Konsep dasar dan regulasi perkebunan sawit di Indonesia perlu segera dirubah. Dwi menilai saat ini banyak kekacauan.

Pemerintah harus menggodok aturan yang cenderung ke arah ramah lingkungan, berkeadilan dan berkelanjutan.

"Dan menjadikan petani sebagai aktor utama pengelolaan sektor perkebunan. Bukan menjadikan petani sebagai objek atau buruh tani perkebunan," ujarnya.

Dwi justru menyarankan pemerintah untuk melakukan inovasi pembuatan minyak goreng. Jangan hanya bergantung diri pada kelapa sawit.

Misalnya, seperti minyak goreng dari bahan kelapa. Hal itu yang dilakukan anggota mereka.

Sehingga masyarakat punya alternatif mudah dalam proses pembuatan minyak goreng yang bisa dibuat secara mandiri di tiap rumah tangga.

"Nenek moyang kita sejak zaman kerajaan sebelum ada negara ini sudah membuktikan bahwa minyak goreng bisa dibuat dari buah kelapa yang merupakan tanaman asli Indonesia," jelasnya.

Namun sayangnya, langkah seperti itu belum disosialisasikan oleh pihak-pihak terkait seperti pemerintah hingga akademisi.

"Seharusnya pemerintah daerah, akademisi dan lainnya mengampanyekan masyarakat untuk kembali sadar dan balik menggunakan migor berbahan baku dari buah kelapa yang melimpah ruah di sekitar kita," pungkasnya.

Seperti diwartakan sebelumnya, pemerintah resmi melarang ekspor minyak sawit dan segala bentuk turunannya. Mulai minyak sawit mentah, RPO, RBD Palm Olein, POME, dan Used Cooking Oil.

"Sesuai keputusan Bapak Presiden mengenai hal tersebut dan memperhatikan pandangan dan tanggapan dari masyarakat, kebijakan pelarangan ini didetailkan yaitu berlaku untuk semua produk baik itu CPO, RPO, RBD Palm Olein, POME dan Used Cooking Oil ini seluruhnya sudah tercakup dalam peraturan menteri perdagangan," kata Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers virtual, Rabu (27/4).

Resmi! Ekspor CPO Dilarang Mulai Malam Ini, Tak Hanya RBD Palm Olein



Komentar
Banner
Banner