Merdeka Dalam Keberagaman

Kisah Tri Suseno, Penghayat Kepercayaan asal Solo

Kisah Tri Suseno yang mendapat pengakuanpenghayat kepercayaan Sapta Darma di KTP. Serta cerita pendidikan Sapta Darma di sekolah.

Featured-Image
Tri Suseno, penghayat kepercayaan asal Solo. Foto: apahabar.com/Fernando

bakabar.com, SOLO - Senyum semringah terlihat di wajah Tri Suseno (43). Pria asal Solo itu adalah seorang penghayat kepercayaan Sapta Darma yang kini keyakinannya telah diakui di Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Sehari-hari, Tri Suseno bekerja sebagai guru mata pelajaran matematika di SMP Negeri 7 Surakarta. Dia satu-satunya guru yang menganut keyakinan penghayat kepercayaan di SMP Negeri tersebut.

Memakai kaos berwarna merah dengan gradasi kuning, Tri tampak antusias menceritakan awal mula dirinya menganut penghayat kepercayaan.

Baca Juga: [EDITORIAL] Merdeka dalam Keberagaman

Tri menganut penghayat kepercayaan sejak kecil. Dia mengikuti jejak orang tuanya yang juga penghayat kepercayaan.

"Waktu itu orang tua tidak memaksa untuk mengikuti penghayat. Seiring berjalannya waktu, saya ada ketertarikan sendiri," kata dia saat ditemui di SMPN 7 Surakarta, Rabu (16/8).

Keyakinan penghayat kepercayaan ini juga diturunkan kepada keluarganya. Mulai dari istri dan juga kedua anaknya.

Baca Juga: Pertemukan Penghayat Kepercayaan, Festival Budaya Spiritual Bakal Digelar di Solo

Dalam kehidupan sehari-hari, Tri mengaku tidak ada masalah yang berarti terkait keyakinan yang dianutnya. Masyarakat di tempat tinggalnya sudah menerimanya secara terbuka. 

Tempat ibadah Sapta Darma dekat tempat tinggalnya juga berada di lingkungan umum. Serta dapat diterima dengan baik oleh warga sekitar.

Terkait dengan profesinya sebagai guru di sekolah negeri, Tri juga mengaku tidak pernah mendapat masalah. Sebabnya, lingkungan tempatnya bekerja sudah menjunjung tinggi toleransi. 

"Ada pengakuan dari kantor kepegawaian di Solo, jadi saya sudah tertulis sebagai penganut penghayat kepercayaan saat sumpah jabatan," terangnya.

Tri Suseno
Tri Suseno saat menyiapkan bahan mengajar. Foto: bakabar.com/Fernando

Sebelum menjadi guru di SMPN 7 Solo, Tri sempat mengajar di SMP Negeri 24 dan salah satu SD di Solo. Selama bekerja, identitasnya pun tidak pernah ditutupi sebagai penghayat kepercayaan.

Namun begitu, Tri mengatakan bahwa sebagian teman seprofesinya sempat belum mengetahui dan mendengar keyakinan Sapta Darma. Tri lalu mencoba menjelaskan kepada orang sekitar dan mereka pun menerimanya.

"Karena penghayat kepercayaan itu alirannya banyak sekali. Itu juga merupakan bagian dari spiritual (agama) bangsa Indonesia yang asli," katanya.

Salah satu hal yang sangat disyukurinya adalah data kependudukan yang sudah tercantum agama penghayat kepercayaan. Pengakuan itu didapatnya sejak keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2017 silam.

Merdeka dalam Keberagaman
Foto kolase: bakabar.com/Fahriadi Nur

Kolom agama di KTP yang tadinya kosong, kini tertulis ‘Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa’. Sejak saat itu, Tri benar-benar merasakan kemerdekaan.

"Benar-benar merasa negara ini hadir untuk penghayat. Utamanya masalah pengakuan hak sipil bagi warga penghayat," jelasnya.

Baca Juga: Cara Kemenag Lawan Intoleran

Sebelum mendapat pengakuan, perasaan ragu sempat ada di benak Tri. Dirinya sempat berpikir bahwa keluarganya akan terus-menerus dianggap tidak beragama atau tidak bertuhan. Padahal, dirinya mempunyai keyakinan bahwa Tuhan sangat penting bagi kehidupan.

"Awalnya saya merasa bahwa kemerdekaan itu hanya sampai di pintu gerbang," tuturnya.

Namun seiring berjalannya waktu, Tri menyadari bahwa ini adalah bagian dari proses. Ada perjuangan dari penganut kepercayaan untuk mendapat pengakuan hak sipil. 

Pada hari kemerdekaan ke-78 RI ini, Tri sebagai penghayat kepercayaan telah merasakan kemerdekaan secara utuh. Dia dan seluruh penganut kepercayaan Sapta Darma telah mendapat pengakuan.

Dia pun berharap kemerdekaan bisa terus dirasakan seluruh masyarakat seluruh elemen. Mengingat, kemerdekaan Indonesia juga tak terlepas dari peran tokoh-tokoh berbagai agama. 

“Seperti salah satu tokoh penghayat kepercayaan, Kanjeng Raden Mas Tumenggung Wongsonegoro juga berperan dalam BPUPKI. Itu menginspirasi saya bahwa kami juga bisa mengisi kemerdekaan ini," tandasnya.

Belum Dapat Guru Penghayat Kepercayaan

Tri memang hampir tidak pernah menemukan kendala yang berarti di kehidupannya selama menganut penghayat kepercayaan Sapta Darma. Namun, anaknya yang masih SD belum mendapat guru mata pelajaran penghayat kepercayaan.

Tri mengaku sudah berkoordinasi dengan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI). Namun, saat ini baru tersedia guru untuk jenjang SMK. 

"Masih ada beberapa hal yang masih harus diselesaikan berkenaan dengan koordinasi tersebut. Utamanya dengan Dinas Pendidikan Kota Surakarta," paparnya.

Penyuluh pendidikan Sapta Darma, Dian Jennie saat mengajar di Surabaya. Foto: dok Pribadi
Penyuluh pendidikan Sapta Darma, Dian Jennie saat mengajar di Surabaya. Foto: dok Pribadi

Sementara itu penyuluh pendidikan kepercayaan Sapta Darma asal Surabaya, Dian Jennie Cahyawati mengatakan bahwa persiapan materi dan guru memang masih terbatas. Sebab, aturan mengenai pendidikan kepercayaan Sapta Darma masih baru, yakni Permendikbud Nomor 27 tahun 2016.

“Belum semua wilayah ada gurunya,” kata Dian saat dihubungi bakabar.com pada Rabu (16/8). 

Namun begitu, Dian mengatakan bahwa masalah kekurangan guru saat ini bisa diatasi dengan guru Sapta Darma dari daerah lain. Pengajarannya daring melalui Zoom dan soal ujian bisa dikerjakan secara online.

Baca Juga: Makna Kemerdekaan bagi Jemaat Rumah Doa Bekasi

“Itu yang kami lakukan untuk tetap melayani anak didik,” ucap wanita yang menjabat sebagai Ketua Perempuan Penghayat Kepercayaan Indonesia (Puanhayati) pusat ini.

Dian juga mengatakan bahwa tingkat diskriminasi dan bullying pada anak-anak penghayat kepercayaan di Indonesia persentasenya semakin menurun. Karena sosialisasi Permendikbud ini terus dilaksanakan. 

Hanya ada sedikit laporan tentang diskriminasi itu. Namun sudah terselesaikan dengan baik.

“Ada laporan calon siswa di Surabaya yang ditolak masuk SMP swasta, namun orang tuanya enggak mempermasalahkan dan langsung cari sekolah lain,” ucap Dian.

Kini, Dian mengaku keberadaan penghayat kepercayaan di Indonesia juga sudah merdeka. Terutama dari segi pendidikan. Dia pun berharap keadaan ini akan bertahan terus-menerus.

Editor


Komentar
Banner
Banner