bakabar.com, JAKARTA - Pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro tidak setuju dengan pendapat yang menyebut, kebijakan hilirisasi mineral kritis Indonesia terbilang terlambat.
Menurutnya, hal itu sangat relatif sifatnya, karena semangat hilirisasi dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah termasuk untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Dengan demikian, dibutuhkan juga kesiapan industri hilir yang akan menampung produk hilirisasi tersebut.
"Kalau terlambat relatif sebenarnya, karena kan memang hilirisasi ini harus diserap di dalam negeri. Jadi kalau dilakukan sejak dulu sementara industri penyerapnya tidak siap, kemudian tidak bisa dilakukan juga," papar Komaidi kepada bakabar.com, Sabtu (1/7).
Hanya saja, program hilirisasi mineral kritis yang dicanangkan pemerintah, memiliki banyak alasan termasuk momentum yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah keinginan untuk shifting atau berpindah dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan.
Baca Juga: Kebijakan Hilirisasi Nikel, ReforMiner: Bukan Hal Baru bagi Indonesia
Pada situasi demikian, dipastikan adanya kebutuhan dalam jumlah banyak produk hilirisasi nikel dan tembaga yang siap diolah untuk mendukung ekosistem baterai kendaraan listrik.
"Salah satunya nikel, begitu pun tembaga, dan yang lain-lain. Nah ini saya kira menjadi monentum untuk melakukan hilirisasi supaya nilai tambah ekonominya lebih bisa kita nikmati termasuk penyerapan tenaga kerjanya," tuturnya.
Sementara terkait potensi kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekstraktif pertambangan nikel, Komaidi menuturkan, hal itu sebagai dampak ikutan yang kerap terjadi. Hal itu semakin buruk jika pengelolaan aktivitas pertambangan tidak memperhatikan daya dukung lingkungan.
Kendati begitu, Komaidi menegaskan, apa yang terjadi dengan aktivitas pertambangan dan kegiatan hilirisasi, serta dampaknya terhadap lingkungan, merupakan dua hal yang tidak bisa dihubungkan secara linear.
Baca Juga: Larangan Ekspor Nikel Turunkan Pendapatan, ReforMiner: Sangat Mungkin
"Ya antara hilirisasi dengan aspek lingkungan di dalam penambangan saya kira dua hal yang tidak bisa dihubungkan secara langsung sebenarnya," ujarnya.
Untuk itu, kata Komaidi, harus dipahami bahwa melalui hilirisasi tidak selalu akan akan merusak lingkungan. Sementara di kegiatan pertambangan yang terjadi mungkin berbeda. Artinya, proses pertambangan satu hal, sementara hilirisasi merupakan hal lain.
Oleh sebab itu, ia mengingatkan agar hilirisasi tetap dilakukan dengan benar dengan tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Untuk itu, kehadiran teknologi terbaru menjadi penting.
"Saya kira teknologinya perlu lebih maju lagi. Kalau dahulu mungkin membutuhkan tanah atau air dalam jumlah besar. Dengan teknologi lebih maju, tanah dan air yang diperlukan, mungkin tidak sebanyak dahulu," imbuhnya.
Dengan demikian, aspek-aspek lingkungan tetap harus jadi perhatian, meskipun pada dasarnya, proses hilirisas berbeda dengan aktivitas pertambangan. Namun menjadi penting untuk diperhatikan bahwa di setiap kegiatan pertambangan perlu dilakukan dengan cara yang baik dan benar.