Smelter Freeport

Bangun Smelter di Papua, Pengamat: Banyak Hal yang Perlu Diperhatikan

Kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI) dalam pengelolaan tambang di Grasberg, Papua, akan habis pada 2041.

Featured-Image
Smelter Adaro direncanakan akan memproduksi 500.000 ton aluminium setiap tahun. Dengan asumsi PLTU tersebut menggunakan teknologi yang terbaik saat ini yaitu ultra super critical, maka PLTU ini diprediksikan akan menghasilkan emisi 5.2 juta ton CO2 ekuivalen per tahunnya. Foto: Adaro

bakabar.com, JAKARTA - Kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI) dalam pengelolaan tambang di Grasberg, Papua, akan habis pada 2041. Setelah itu, belum diketahui nasib perusahaan tambang itu, meskipun masih ada potensi mineral yang cukup besar untuk ditambang.

Sejauh ini, pemerintah telah mengajukan sejumlah syarat terkait dengan perpanjangan kontrak PTFI. Salah satunya terkait dengan kewajiban membangun smelter di Papua.

Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia  pada Jumat (30/6). Menurutnya, langkah tersebut berkaitan dengan kedaulatan dan harga diri orang Papua.

Bahlil menekankan, jangan sampai tanah Papua terus dimanfaatkan oleh perusahaan asing. Karena itulah, harapannya langkah hilirisasi itu akan mendatangkan manfaat ekonomi yang lebih besar kepada masyarakat Papua.

Baca Juga: Smelter Freeport, Menteri Bahlil Wajibkan Dibangun di Papua

Mengenai seberapa penting memangun smelter di Papua, Pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan soal pembangunan smelter. Menurutnya, pembangunan smelter harus mempertimbangkan banyak hal.

"Lokasinya, termasuk bagaimana supporting listriknya, terus kemudian nanti transportasi dan distribusinya. Termasuk marketnya ya mas, nanti akan dijual kemana begitu," ujar Komaidi kepada bakabar.com, Senin (3/7).

Komaidi menegaskan, sebenarnya smelter PT Freeport sudah ada di Gresik, Jawa Timur. Hanya saja, kapasitasnya yang masih terbatas dan belum optimal.

"Tetapi kenapa dipilih di Gresik, saya kira, salah satunya ada masalah supporting, supporting sistemnya, mungkin kelistrikannya terus kemudian di dalam akses distribusi konsentrat nya kalau kasih sampai dengan nanti setelah diolah di situ distribusinya. Hasil olahan dari smelternya seperti apa, sehingga dipilih di situ," terang Komaidi.

Baca Juga: Bangun Smelter Tembaga, Bahlil: PTFI Realisasikan Rp33 Triliun

Sementara itu, jika pembangunan smelter diadakan di Papua, Komaidi mempertanyakan lokasinya. Hanya saja ketika Menteri Bahlil telah mengungkapkan hal itu, menurutnya pertimbangannya sudah matang. Selain itu, usulan tersebut sangat memungkinkan, karena Bahlil merupakan pemuda yang besar di Papua.

"Saya kira juga ada mewakili aspirasi masyarakat setempat, dan kemudian juga ada nuansa sendiri di beliau, bahwa harus ada perhatian begitu, karena kan memang apa yang beliau sampaikan benar," katanya.

Komaidi menambahkan, "Bahwa memang sudah cukup lama pengusahaan kekayaan sumber daya alam di Papua memang dilakukan untuk kepentingan nasional bukan tidak menetes kesana."

Hanya saja, pada kenyataannya, operasional PT Freeport sudah terbagi. Sebagian ada di Papua, sementara pemurnian mineralnya ada di Gresik, Jawa Timur. Karena itu, Komaidi mengusulkan agar pembangunan smelter di Papua harus dikaji secara matang.

Baca Juga: Sarinah dan Mind ID Tepis Rumor Ambil Alih Katering PT Freeport

Misalnya, dengan memikirkan bahwa di Papua secara hulu, industrinya memang lebih dekat. Lalu untuk pengiriman konsentratnya ke Pulau Jawa. Apakah hal tersebut cukup efektif dan efisien, salah satunya terkait dengan biaya pengiriman, dal lain sebagainya.

"Terus juga harus diperhatikan supporting. Sistemnya di dalam industri hilirisasinya di Papua nanti apakah sudah se mapan di Jawa atau belum, ini yang perlu diperhatikan," pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner