bakabar.com, JAKARTA – Proses perizinan budi daya dan ekspor benih lobster menyeret nama Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin dan mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
Hal itu diungkap Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta saat memeriksa Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Edhy terbukti memberikan arahan kepada anak buahnya agar membantu proses perizinan yang berkaitan dengan Fahri-Azis.
“Berdasarkan saksi Andreau Misanta Pribadi dan Safri di sidang yang menerangkan bahwa para saksi pernah diperintah terdakwa untuk membantu atau mempercepat proses perizinan budi daya dan ekspor dari perusahaan tertentu yang menjadi kolega terdakwa, hal tersebut diperkuat bukti ‘screenshot whatsapp’ antara terdakwa dengan saksi Safri dan saksi Andreau Misanta Pribadi,” kata anggota majelis hakim Ali Muhtarom, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (15/7) dilansir Antara.
Hakim Ali lalu membacakan tangkapan layar percakapan antara Edhy Prabowo dengan staf khususnya yang juga menjadi Wakil Ketua Tim Uji Tuntas di Kementerian Kelautan dan Perikanan Safri pada 15 Mei-22 Juni 2020.
“Saf, itu orangnya Pak Azis Syamsuddin Wakil Ketua DPR, mau ikutan budi daya lobster, Novel Esda. Dijawab Safri, oke bang,” ujar hakim.
Kemudian percakapan pada 16 Mei 2020, “Saf ini tim Pak Fahri Hamzah mau jualan lobster, langsung dihubungi dan undang presentasi. Safri menjawab: oke bang.”
Kemudian pada 19 Mei 2020, terdakwa mengirim pesan whatsapp ke Safri. ‘Saf yang Pak Fahri Hamzah saya dengar mau diundur setelah lebaran, kalau mereka sudah siap besok, segera saja selesaikan besok. Safri menjawab, oke bang,” kata hakim pula.
Kemudian percakapan “whatsapp” antara Edhy dengan Andreau Misanta Pribadi pada 19 Juni 2020.
“Dikirim ‘forwarder’ permohonan izin budidaya dan ekspor BBL dari PT Sinar Lautan Perkasa Mandiri. Dijawab Andreau: siap Pak ini sudah kami take note,” kata hakim lagi.
Selain itu, menurut hakim, terdapat intervensi Edhy selaku Menteri Kelautan dan Perikanan terkait izin budi daya dan ekspor benih bening lobster (BBL).
Hal ini dapat dilihat dari ada percakapan whatsapp antara Andreau Misanta Pribadi dan Safri yang memerintahkan Arif Heri Wibowo selaku Direktur Produksi dan Usaha Perikanan Budi Daya untuk memberikan proses izin ekspor dan budi daya BBL kepada salah satu perusahaan ekspor.
Hakim pun membacakan percakapan Andreau dan Arif pada 2 Mei 2020 sampai 18 Juli 2020. “Pak Arif, arahan bapak, 2 perusahaan mohon segera diizinkan budidayanya, PT Global Samudra Makmur dan CV Nusantara Berseri, mohon dipercepat hari ini Pak many thank,” kata hakim.
Dalam perkara ini, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo divonis 5 tahun penjara, ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan, karena terbukti menerima suap senilai 77 ribu dolar AS dan Rp24.625.587.250 dari pengusaha terkait ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.
Edhy juga diminta untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS serta pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun sejak selesai menjalani pidana pokoknya.
Edhy Prabowo dinilai terbukti menerima suap senilai 77 ribu dolar AS dan Rp24.625.587.250 bersama-sama dengan Andreau Misanta Pribadi dan Safri (staf khusus Edhy Prabowo), Amiril Mukminin (sekretaris pribadi Edhy), Ainul Faqih (sekretaris pribadi Iis Rosita Dewi yaitu istri Edhy Prabowo), dan Siswadhi Pranoto Loe (pemilik PT Aero Cipta Kargo) dari Direktur PT Duta Putra Perkasa Pratama Suharjito dan perusahaan pengekspor BBL lain.
Suap tersebut diterima melalui Safri yaitu 26 ribu dolar AS, Siswadhi Pranoto Loe menerima totalnya Rp13.199.689.193, Andreau Misanta Pribadi menerima Rp10.731.932.722, dan Amiril Mukminin menerima Rp2.369.090.000.
Terkait perkara ini, Andreau Misanta Pribadi dan Safri divonis 4,5 tahun penjara, ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan; Amiril Mukminin divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan; Siswadhi Pranoto Loe divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan, dan Ainul Faqih divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 4 bulan.
Terhadap perkara tersebut, keenam terdakwa dan JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.