bakabar.com, JAKARTA - Kanye West resmi dicoret dari daftar orang terkaya versi Forbes. Pendepakan itu bukan tanpa alasan, sang rapper dinilai tak lagi berstatus miliarder lantaran berseteru dengan mitra bisnisnya: Adidas, Gap, dan Balenciaga.
Pemutusan hubungan kerja ini dikarenakan West kerap melontarkan komentar kontroversial, termasuk berbau anti-semit. Bukan cuma sekali, ujaran kebencian yang demikian dilakukan berulang-ulang, tepatnya sejak awal Oktober lalu.
Misalnya saja, pada 3 Oktober, Ye mengenakan pakaian bertuliskan White Lives Matter. Istilah ini, menurut The Southern Poverty Law Center, berkaitan dengan kelompok neo-Nazi, di mana berarti ‘tanggapan rasis terhadap gerakan hak-hak sipil Black Lives Matter.’
Enam hari setelahnya, mantan suami Kim Kardashian itu kembali melontarkan komentar kontroversial. Dirinya mencuit, “death con 3 on Jewish people" atau “kematian terhadap orang-orang Yahudi.”
Namun, West segera menegaskan bahwa cuitannya itu bukan merupakan ujaran anti-semit. Sebab, menurutnya, “Orang kulit hitam sebenarnya juga Yahudi.”
Berbanding terbalik dengan klaimnya yang demikian, lelaki berusia 45 tahun itu malah terus menebarkan ujaran kebencian pada kaum Yahudi. Karena itulah, tak sedikit yang mengecap West sebagai ‘penganut anti-semit.’
Lantas, Sebenarnya Apa Itu Anti-Semit?
Istilah anti-semit pertama kali dikemukakan seorang jurnalis Jerman-Yahudi, Wilhelm Marr, dalam bukunya yang berjudul The Victory of Judaism over German-From a Non-Religious Perspective (1879).
Kala itu, anti-semit digunakan untuk menggambarkan gelombang permusuhan terhadap orang Yahudi di sentral Eropa pada pertengahan abad ke-19. Wilhelm mengartikan istilah itu sebagai kebencian terhadap kaum Yahudi dan politiknya.
Meski baru merebak sejak 1879, sejatinya anti-semit sudah ada sejak abad pertengahan, di mana berawal dari kepercayaan orang Kristen awal. Prasangka buruk itu bermula dari mitos bahwa merekalah yang semestinya bertanggung jawab atas kematian Yesus Kristus.
Konon, kaum Yahudi menggunakan darah anak-anak Kristen untuk melakukan keperluan ritual mereka. Stigma negatif tersebut terus memburuk tatkala Nazi Jerman, pada tahun 1800-an, menganggap Yahudi bukanlah asli Eropa.
Nazi juga menuduh mereka sebagai penyebab masalah ekonomi, sosial, politik, dan budaya di Jerman, utamanya selepas negara itu kalah dalam Perang Dunia I. Setelah Nazi Jerman naik tampuk kekuasaan pada 1933, bermacam bentuk penganiayaan diberlakukan terhadap kaum Yahudi.
Meluas ke Amerika Serikat
Tak cuma di Eropa, kebencian terhadap kaum Yahudi pun meluas ke Amerika Serikat. Paham anti-semit kian digaungkan lewat berbagai macam tulisan, salah satunya traktat misi Alkitab. Sabbath Lessons (1813), misalnya, mengajar anak-anak sekolah Minggu tentang konspirasi penguasa Yahudi melawan Yesus Kristus.
Media lokal juga senantiasa mencitrakan kaum Yahudi sebagai orang yang hanya tertarik pada uang guna memuluskan tatanan politik mereka. Dearborn Independent, misalnya, menuliskan orang Yahudi sebagai pengendali keuangan dunia.
Konspirasi soal Yahudi tersebut kian mencuat seiring melesatnya penjualan koran Dearborn Independent, di mana hanya dalam kurun waktu setahun sukses menjual 700.000 eksemplar. Peredarannya sampai ke seluruh negeri, termasuk presiden bank, klub perempuan, rektor perguruan tinggi, juga anggota Kongres.