bakabar.com, JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengkhawatirkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023 yang dilakukan secara berlebihan.
Tercatat dalam sepekan terakhir, semua provinsi telah mengumumkan kenaikan UMP. Adapun kenaikan bervariasi dari 5 persen hingga 8 persen.
Lantas muncul kekhawatiran di balik kenaikan UMP yang bisa berdampak buruk untuk iklim investasi, serta memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang lebih besar.
"Kenaikan UMP 2023 berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022, tak mencerminkan kondisi pelaku usaha yang akan menanggung beban," cetus Wakil Ketua Umum Kadin, Sarman Simanjorang, Selasa (29/11) seperti dilansir CNN.
Baca Juga: Blakblakan! Apindo Kalsel Tolak Kenaikan UMP 2023 Rp 3,1 Juta
Baca Juga: UMP Kalsel Capai Rp3 Juta Lebih, Tengok Kenaikan di Provinsi Lain
"UMP terkait antara pengusaha dan pekerja, bukan dengan pemerintah. Lagipula bukan pemerintah yang membayar pekerja. Makanya kami sangat menyayangkan," imbuhnya.
Diyakini kenaikan UMP yang berlebihan atau di luar kemampuan pengusaha, lebih banyak menggangu iklim investasi dibanding mensejahterakan.
"Hal yang paling ditakutkan adalah ketika UMP sudah di luar kemampuan penguasah. Imbasnya perencana perekrutan karyawan baru bisa tertunda atau bahkan dihilangkan," tegas Sarman.
"Bisa saja pengusaha melakukan rasionalisasi dengan pengurangan karyawan untuk mengurangi beban perusahaan," sambungnya.
Tak hanya itu, kenaikan UMP yang terlalu tinggi untuk pelaku usaha juga bisa membuat relokasi pabrik ke upah lebih murah semakin banyak.
"Apalagi dalam satu provinsi, UMK bisa berbeda jauh. Misalnya Tangerang, Bekasi, Garut atau Banten yang memberikan upah berbeda, padahal sama-sama di Jawa Barat," tandas Sarman.