LIFESTYLE

Jebakan Bystander Effect dalam Pelecehan Seksual, Apatis atau Takut?

Fenomena yang demikian disebut bystander effect, di mana tak ada yang membantu ketika seseorang membutuhkan pertolongan

Featured-Image
Ilustrasi Bystander Effect. Foto: EasyLiama.

bakabar.com, JAKARTA – Pelecehan seksual masih menjadi momok di Indonesia. Survei Koalisi Ruang Publik Aman bahkan menemukan banyak kasus yang terjadi di ruang publik, seperti jalan, taman, transportasi umum, pusat perbelanjaan, dan tempat kerja.

Tak cuma di Nusantara, sejumlah negara dari berbagai belahan dunia juga menerima laporan pelecehan seksual di ruang publik. Sebut saja Amerika Serikat, tepatnya di Kota Philadelphia, Pennsylvania.

Pada 2021, seorang perempuan mengalami pelecehan seksual di kereta komuter. Meski ada banyak orang di sekitar lokasi kejadian, nihil satu pun yang membantu korban. Mereka malah mengeluarkan ponsel dan merekam kejadian itu.

Fenomena yang demikian disebut bystander effect, di mana tak ada yang membantu ketika seseorang membutuhkan pertolongan. Padahal, para saksi mata itu sebenarnya berpotensi mencegah terjadinya kekerasan seksual.

Apatis atau Takut?

Banyard dalam penelitian The Promise of a Bystander Approach to Violence Prevention (2015) mendefinisikan bystander sebagai saksi terhadap perilaku negatif, entah itu keadaan darurat, kejahatan, atau pelanggaran peraturan. 

Eksistensi mereka sejatinya memiliki kesempatan untuk memberikan bantuan, berkontribusi pada perilaku negatif dan mendorong perilaku itu dalam beberapa cara, atau hanya sebagai orang yang mengamati tanpa melakukan apa-apa. 

Psikolog Bibb Latane menyebut bystander effect umumnya melakukan hal yang ketiga: tidak melakukan apa-apa. Ini dikarenakan manusia memang punya kecenderungan untuk tak ikut campur masalah di sekitarnya ketika sedang berada di ruang umum.

“Ketika mereka melihat orang lain belum melakukan apa-apa, mereka mungkin berpikir, tidak ada alasan untuk melakukan apapun," ujar Latane, dikutip dari NBC News, Selasa (21/3).

Psikiater Saumya Dave pun mengamini pernyataan Latane. Menurutnya, manusia cenderung ‘membeku’ saat melihat sesuatu yang benar-benar menakutkan. Terlebih lagi, jika orang yang melakukan kejahatan itu memiliki senjata atau tampak sangat kuat.

“Mereka mungkin tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ketika tidak ada yang melakukan sesuatu, itu hanya membuat orang lain melakukan tindakan serupa,” jelas Dave.

Sang Defenders

Sementara itu, Banyard dalam jurnalnya menyebut bystander tidak melulu diam ketika melihat kejahatan, ada pula yang mengambil tindakan. Mereka disebut upstanders atau defenders, di mana aktif berperilaku pro-sosial atau untuk mengeskalasi masalah.

Banyard dalam Who will help prevent sexual violence: Creating an ecological model of bystander intervention (2011) menyebut ada tiga faktor yang membuat seseorang jadi defenders. Salah satunya, pengetahuan tentang kekerasan seksual.

Semakin peduli dengan kekerasan seksual, mereka pun memiliki keaktifan lebih tinggi untuk bereaksi terhadap kekerasan seksual. Seorang bystander bakal bertindak ketika dia merasa bertanggung jawab untuk melakukannya.

Adalah arousal dan emosi, dua faktor lainnya yang disebut Banyard sebagai kunci atas rasa bertanggung jawab. Rasa itulah yang sejatinya menjadi bagian utama dari proses intervensi dalam kejadian kekerasan seksual.

Banyard dalam studi terdahulunya, Measurement and Correlates of Prosocial Bystander Behavior: The Case of Interpersonal Violence (2008), menyatakan seorang defenders umumnya adalah perempuan.

Hal itu dikarenakan perempuan memiliki perhatian tersendiri dan lebih banyak tahu tentang isu sesama kaum hawa, sebagai kelompok yang rentan akan kekerasan.

Editor


Komentar
Banner
Banner