Pemerintah diminta tak lepas tangan akan barisan pemadam kebakaran yang sebenarnya potensial memudahkan penanggulangan bencana di Banjarmasin.
Sejatinya penanganan musibah kebakaran adalah wewenang pemerintah, bukan semata relawan.
"Pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi harusnya berkewajiban untuk menyediakan sarana prasarana dan edukasi perihal musibah kebakaran," ujar Direktur Borneo Law Firm, Muhammad Pazri.
Amanat tertuang dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Kemudian, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Potensi Kebakaran di Perkotaan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pedoman Nomenklatur Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Namun sayangnya, Pazri menilai kewajiban tersebut terkesan beralih ke BPK swadaya masyarakat yang dibangga-banggakan oleh pemerintah karena kuantitasnya.
"Sebenarnya banyak BPK ini adalah potensi baik apabila juga dibina dengan baik bahkan menjadi karakteristik daerah karena jiwa sosial tinggi dan kebersamaan tinggi untuk gotong royong, menjadi bangga kita Kalsel," ujar doktor hukum jebolan Universitas Sultan Agung ini.
Setelah insiden di Sutoyo, Pazri meminta pemerintah terkhusus Pemkot Banjarmasin meningkatkan peran dalam penanggulangan bencana.
Pemerintah, kata Pazri, jangan melupakan amanat UU yang mewajibkan penyediaan sarana prasarana, melakukan manajemen, serta menanggulangi bencana.
"Termasuk pengawasan terhadap para relawan itu sendiri. Pemerintah juga bisa memberikan sanksi administratif sesuai aturan perundang-undangan," ujarnya.
Catatan Pazri, sepanjang 2015-2021, sejumlah insiden kecelakaan yang melibatkan BPK mewarnai Banjarmasin. Tentu paling diingat adalah kasus tewasnya Oktavia, Mei 2021. Ibu muda itu diseruduk mobil BPK di penyeberangan jalan depan Hotel G'Sign, Pal 5, Banjarmasin.
"Tak hanya masyarakat, para relawan sendiri kerap menjadi korban," ujarnya.
Lantas, sudah sejauh mana pemerintah ikut bertanggung jawab atas rentetan insiden itu? Kalau mau diuji, menurut Pazri, bisa saja.
Seperti tragedi Oktavia, insiden terjadi saat kondisi jalan gelap gulita. Pemerintah memiliki andil atas pemadaman ampu penerangan jalan.
"Kalau kalau mau diuji. Ada dasar hukumnya. Bisa saja. Tapi itu bukan solusi tepat," ujarnya.
Saat musibah terjadi, jalan-jalan kota seakan sudah menjadi sirkuit dadakan. Beragam warna mobil BPK berlomba-lomba mencapai TKP kebakaran. Seakan tidak peduli pengendara lain.
"Kita semua tahu dan mengerti mobil ambulans, damkar itu diprioritaskan di jalanan. Tapi damkar profesional tidak ugal-ugalan," kritik Pazri.
"Yang profesional tentu bertindak terukur dan tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain. Niatnya mau nolong bagus, tapi mengorbankan diri sendiri dan orang lain," ujarnya.
Belum lagi perihal para driver damkar swadaya masyarakat yang tidak memiliki SIM atau bahkan masih di bawah umur. "Ini jelas sangat membahayakan," ujarnya.
Apa yang dikatakan Pazri ada benarnya. Meski senior. Ahmad Darmawan, sopir penabrak 2 pemotor dan anak di Sutoyo, Rabu (5/1), rupanya tak memiliki SIM. Kelaikan mobil tak ber-STNK yang dikendarainya ikut dipertanyakan.
Pazri kemudian melihat jauh ke depan. Seiring perkembangan zaman jumlah gedung-gedung bertingkat mulai menjamur di Banjarmasin.
"Lantas, jika terjadi kebakaran di sana, apakah penanggulangannya diserahkan ke para BPK swasta ini?" ujar Pazri. "Jika pemerintah membiarkan pelibatan mereka, apakah pemerintah sudah melatih mereka?" sambung Pazri.
Banjarmasin, sebenarnya sudah punya Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2008 tentang pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran. Namun implementasinya kian dipertanyakan.
Seperti insiden di Sutoyo, misalnya. Darmawan merupakan anggota BPK Kampung Gadang. BPK satu ini bermarkas di Banjarmasin Tengah.
Sedang TKP kebakaran berlokasi di Pelambuan, yang notabene wilayah Banjarmasin Barat. Sebuah rumah dan indekos dua pintu ludes dalam kebakaran sore itu.
Perda 13/2008 sejatinya sudah mengatur batas zonasi penanggulangan bencana kebakaran. Jika kebakaran terjadi di Banjarmasin Barat, mestinya cukup ditangani oleh BPK setempat. Pengecualian, bila BPK setempat tak mampu, barulah bisa meminta bantuan.
"Implementasi pelaksanaan Perda tak berjalan optimal. Perlu di-upadate lagi dengan aturan terbaru, diperkuat, dan dievaluasi," ujar Pazri.
Sebagai warga kota, Pazri merasa resah atas fenomena kecelakaan yang melibatkan BPK.
Sekali lagi, menurutnya pemerintah harus turun tangan. Bila perlu, berikan prioritas anggaran lebih ke BPK.
"Bangun fasilitas yang memadai di setiap kecamatan dan anggotanya dibiayai oleh APBD. Jangan swadaya masyarakat lagi, agar penanganan musibah kebakaran di kota ini ditangani secara profesional, dan insiden BPK tidak terulang lagi," ujarnya.