bakabar.com, JAKARTA -Indonesia merupakan negara dengan potensi besar untuk menjadi basis industrifarmasi di wilayah Asia Tenggara. Untuk mencapai tujuan tersebut, industri perlu beralih menjadi industri berbasis inovasi terlebih dahulu.
Hal itu diungkapkan Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ronald Tundang dalam keterangan tertulis, Senin (23/1). Indonesia perlu memilih kebijakan industri yang tepat dan memperhatikan faktor-faktor yang mendukung kesuksesan hal tersebut.
“Misalnya menambah anggaran riset dan pengembangan serta menggunakan fleksibilitas pada Hak Kekayaan Intelektual (HKI),” terang Ronald.
Selain itu, untuk memajukan industri farmasi di dalam negeri, Indonesia bisa mengikuti jejak India dan China dengan memproduksi obat generik. Atau, Indonesia juga bisa mengikuti jejak Amerika Serikat dan Swiss menjadi pusat pengembangan riset dan teknologi.
Baca Juga: Kasus Gagal Ginjal Akut, 2 Bos Pabrikan Farmasi Bakal Ditangkap
"Sayangnya, sejauh ini Indonesia belum memiliki posisi yang jelas mengenai hal ini,” ujar Ronald.
Jika Indonesia memilih opsi pertama, maka strategi yang perlu disiapkan adalah identifikasi obat paten yang akan segera habis masa berlakunya. Provisi ini membolehkan produsen obat generik di Indonesia untuk meminta izin pemasaran menggunakan obat paten yang masih berlaku.
Provisi Bolar juga berlaku untuk opsi kedua. Banyak negara menggunakannya untuk kepentingan riset dan pengembangan. Saat ini Indonesia belum menjadi pilihan karena belum ada basis industri BBO serta kapasitas riset dan pengembangan yang masih rendah.
Untuk itu, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas riset dan mengembangkan skala industri farmasi. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan anggaran riset dan pengembangan.
Baca Juga: Turnamen esports Asia Tenggara SEACA 2022 Digelar
"Sebab saat ini, anggaran riset dan pengembangan Indonesia merupakan yang terkecil di G-20, yakni 0,2% dari GDP," ungkapnya.
Saat ini, Indonesia merupakan salah satu proponen pengusul obat dan vaksin Covid-19. Bahkan, pemerintah telah mengambil kebijakan untuk mendorong kemandirian industri farmasi, khususnya dalam produksi bahan baku obat (BBO), misalnya TKDN.
"Pemerintah juga mewajibkan penggunaan produk dalam negeri untuk pengadaan barang dan jasa, termasuk melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)," lanjutnya.
Kebijakan kedua adalah insentif fiskal, seperti pengurangan pajak dan pembebasan bea masuk bagi perusahaan farmasi yang akan memproduksi BBO.
Baca Juga: Temukan Obat Kanker, Polisi Klaim Tidak Ada Racun pada 4 Jenazah yang Tewas di Kalideres
"Pemerintah perlu mempersiapkan kebijakan yang dapat digunakan dalam kondisi normal dan kondisi mendesak semisal pandemi," ungkapnya.
Indonesia, lanjutnya, merupakan salah satu proponen pengusul obat dan vaksin COVID-19 sebagai komoditas publik melalui dukungannya atas pengecualian perlindungan HKI untuk obat dan vaksin COVID-19 berdasarkan Perjanjian Hak atas Kekayaan Intelektual yang berhubungan dengan Perdagangan atau Trade-related Intellectual Property Rights Agreement (TRIPs).