bakabar.com, BANJARBARU – Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Kalsel, bakal mengaudit biaya perjalanan dinas anggota DPRD Kabupaten Banjar terkait adanya dugaan korupsi.
Itu disampaikan Kepala BPKP Kalsel, Rudy M Harahap, ketika menerima kunjungan Ketua DPRD Banjar H Muhammad Rofiqi dan Irwan Bora dari Fraksi Gerindra, Jumat (13/5).
"Kami akan menurunkan tim investigasi bekerja sama dengan aparat penegak hukum (APH) untuk mengaudit biaya perjalanan dinas anggota DPRD Banjar," ujar Rudy.
Audit dilakukan guna menindaklanjuti kemungkinan tidak ditaatinya Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional yang mengatur satuan biaya honorarium, satuan biaya perjalanan dinas dalam negeri, satuan biaya rapat/pertemuan di dalam dan di luar kantor, satuan biaya pengadaan kendaraan, dan satuan biaya pemeliharaan.
Rudy menuturkan, pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas oleh anggota DPRD, khususnya dalam pertanggungjawaban biaya hotel, harus sesuai dengan tarif nyata hotel tempat menginap.
Karenanya, lanjut Rudy, anggota DPRD tidak boleh mempertanggungjawabkan biaya perjalanan dinas sebesar nilai pagu anggaran, harus sesuai biaya nyata. Apalagi merekayasa kuitansi hotel.
"Biaya yang dipertanggungjawabkan harus sebesar nilai riil biaya perjalanan dinas At cost," kata Rudy.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020, uang saku perjalanan dinas anggota DPRD ke Jakarta, yang sebelumnya bisa sebesar Rp1,2 juta turun menjadi Rp 530 ribu per hari.
“Beberapa anggota DPRD diduga telah memanipulasi kuitansi hotel menjadi sebesar nilai pagu. Anggaran perjalanan dinas ini setahun di DPRD Banjar bisa mencapai Rp 38 miliar,” ungkap Rudy.
Ia menerangkan, pelaksanaan dan penatausahaan belanja daerah harus mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Belanja daerah juga harus berpedoman pada standar harga satuan regional, analisis standar belanja, dan/atau standar teknis.
Rudy menegaskan kepada Ketua DPRD Banjar, setiap pengeluaran belanja anggota DPRD harus didukung tidak hanya dengan bukti yang lengkap, tetapi juga harus sah.
"Dengan batasan yang ketat tersebut, DPRD mestinya merancang alternatif lain renumerasi yang tidak melanggar hukum, bukan malah memanipulasi biaya perjalanan dinas," sarannya.
Sebagai contoh, pembayaran anggota DPRD harus berdasarkan kinerja (performance). Sebagai alat kendali, Bendahara Pengeluaran Sekretariat DPRD harus mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) kepada Pengguna Anggaran (PA) atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) melalui Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (PPK SKPD) berdasarkan Surat Penyediaan Dana (SPD).
"PPK dan KPA Sekretariat DPRD juga bertanggung jawab memverifikasi kebenaran material bukti pertanggungjawaban," tegasnya.
Rudy mengingatkan kembali, anggota DPRD dan Sekretariat DPRD agar mempertanggung jawabkan perjalanan dinas sesuai dengan aturan.
"Jika ditemukan kecurangan berulang dan ada niat jahat, prosesnya akan dilanjutkan ke penegakan hukum,” pungkasnya.
Sekedar diketahui, saat ini kasus dugaan korupsi perjalanan dinas DPRD Banjar sudah bergulir di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalsel. Terbaru, Kejati Kalsel melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan Negeri Banjar.