bakabar.com, JAKARTA – Kasus pembunuhan Brigadir J mulai menemukan titik terang. Satu dari lima terdakwa, Putri Candrawathi, divonis 20 tahun penjara oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Menyatakan terdakwa Putri Candrawathi terbukti secara sah bersalah turut serta melakukan tindak pidana pembunuhan berencana. Menjatuhkan pidana, oleh karena itu, selama 20 tahun penjara," ucap Ketua Majelis Hakim, Wahyu Iman Santoso, Senin (13/2) kemarin.
Vonis yang demikian lebih berat ketimbang tuntutan yang diajukan jaksa pada Januari lalu. Ketika itu, jaksa menuntut Putri Candrawathi dengan pidana delapan tahun penjara.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Putri Candrawathi dengan pidana penjara selama delapan tahun," ucap Jaksa Didi Aditya Rustanto saat membacakan tuntutan di PN Jakarta Selatan, Rabu (18/1).
Lantaran vonis sudah ditetapkan, istri Ferdy Sambo itu bakal dipenjara. Tentunya, dia dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan (lapas) wanita. Lantas, seperti apa kondisi bui khusus kaum hawa di Indonesia? Bagaimana pula kehidupan sosial di sana?
Kapasitas Berlebih sedari Dulu
Lapas wanita di Indonesia sendiri sudah eksis sejak negeri ini berdaulat, tepatnya sekira tahun 1950-an. Kala itu, terdapat tiga penjara khusus wanita yang masing-masing terletak di Malang, Jawa Timur; Bulu, Semarang; dan Bukitduri, Jakarta.
Sebagaimana dilaporkan Wanita edisi 15 April 1955, jumlah narapidana (napi) wanita di tiga bui tersebut mencapai 547 orang. Perbandingan kapasitas dan penghuni penjara itu boleh dibilang masih memadai.
Kondisi yang demikian tak bertahan lama. Memasuki 1966, tiga lapas itu kelimpahan penghuni karena peristiwa G30S PKI. Penangkapan besar-besaran menyasar anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) lantaran dianggap berafiliasi dengan paham komunisme.
Kelebihan kapasitas itu bahkan masih terjadi sampai sekarang, misalnya saja di Lapas Kelas II Pondok Bambu, Jakarta Timur. Pada 2017 lalu, seperti dilaporkan Pinter Politik, rumah tahanan (rutan) ini dihuni 1.024 orang.
Padahal, lapas tersebut idealnya hanya mampu menampung 619 orang napi. Rutan itu dihuni terdakwa dari berbagai kasus, antara lain kekerasan, korupsi, penipuan, hingga pembunuhan.
Hukum Rimba dalam Lapas Wanita
Jumlah tahanan yang bejibun tentu membuat sipir penjara tak bisa mengawasi mereka semua. Barang lengah sedikit saja, tindakan perpeloncoan bakal terjadi – malahan, bisa tumbuh subur di lapas wanita.
Pukulan dan tendangan sudah menjadi ‘upacara sambutan’ untuk penghuni baru. Mereka juga diwajibkan mematuhi perintah penghuni lama, semisal harus mau disuruh memijat teman satu sel. Jika menolak, siksaan dari teman sel lainnya pun tak terelakkan.
Mirisnya, perpeloncoan tak cuma dilakukan sesama napi. Para petugas lapas juga tidak mau kalah. Mereka biasanya sengaja ;menunggu’ tahanan melakukan kesalahan. Lengah sedikit saja, tahanan itu bisa jadi bulan-bulanan.
Meski terdengar tak manusiawi, perlakuan-perlakuan yang demikian sudah dianggap lumrah terjadi di lapas. “Perlakuan pemukulan, intimidasi, dan bahkan pemerkosaan sebagai hal biasa sampai-sampai dianggap sebagai hal yang normal di penjara,” ungkap Restaria Hutabarat dari LBH Jakarta.
Lebih menyedihkan lagi, para petugas lapas bisa menerima ‘pesanan.’ Asalkan ada uang, mereka bisa melakukan hal-hal mengerikan lainnya, seperti mengirim napi wanita ke lapas lelaki untuk memuaskan birahi.
“Saya pernah dibangunkan jam 11 oleh malam oleh sipir dan dibawa ke penjara laki-laki. Di sana, saya disuruh untuk melayani salah satu napi pria,” demikianlah pengakuan Susi saat menerima perlakuan pahit dari petugas.
Setelah ‘selesai’ melakukan hal yang di luar kehendaknya itu, Susi dibawa kembali ke sel. Dianggap bak pelacur, keesokannya, salah satu senior di dalam sel itu memberinya uang berjumlah tak seberapa – Rp25.000.
Sisi ‘Terang’ Lapas Wanita
Terlepas dari kisah pilu yang menimpa para napi wanita, lapas khusus srikandi itu setidaknya masih menyimpan ‘sisi terang.’ Meilya dkk dalam Kajian Perilaku Sosial Narapidana Wanita (2020) menyebut ada sejumlah dampak positif yang dirasakan napi saat berada di tahanan.
Pada kesehariannya, warga binaan perempuan (WBP) di Lapas Kelas II Tangerang, difokuskan pada pembinaan. Di antaranya, kursus pemberantasan buta huruf, menjahit, olahraga, sampai ceramah agama.
Meilya dkk mengatakan sejumlah penghuni lapas mengaku sejak menjadi WBP, mereka lebih giat beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka merasa telah mendapat banyak pelajaran usai menjalani kehidupan sebagai WBP.
Pengalaman yang tidak pernah dipikirkannya itu membuat mereka lebih mawas diri dalam bertindak. Mereka juga mengaku mendapat pengalaman baru, teman baru, bahkan tingkat keimanan serta ibadahnya makin bertambah.