bakabar.com, JAKARTA – Sedari zaman kerajaan, jauh sebelum republik ini terbentuk, wanita di Pulau Jawa terbiasa berdandan eksotis: hanya menutupi bagian dada ke bawah dengan sehelai kain jarik. Gaya busana yang demikian dikenal sebagai kemben.
Seiring waktu berlalu, akselerasi berpakaian pun kian melaju. Bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam, wanita Jawa mulai mengubah kebiasaan mengenakan kemben menjadi busana yang lebih tertutup: kebaya.
Meski lebih tertutup ketimbang kemben, tak dapat dipungkiri bahwa kebaya tetap menonjolkan keindahan tubuh wanita. Bagaimana tidak, pakaian tersebut dibuat mengikuti lekuk tubuh kaum hawa.
Lantaran menjadi tempat singgah pedagang lintas negara, tampilan kebaya ikut terpengaruh budaya asal negara pedagang tersebut. Kebaya pun berevolusi dari masa ke masa, baik dari segi bentuk, bahan, maupun sosok pemakainya.
Lantas, seperti apa perkembangan kebaya dari zaman ke zaman? Merangkum berbagai sumber, berikut ulasannya.
Beda Kelas Sosial, Beda Pula Bahan Kebaya yang Dipakai
Kebaya dibuat menggunakan bahan bervariasi, mulai dari kain-kain halus seperti sutra, hingga kain tenun biasa yang berharga terjangkau. Perbedaan bahan ini rupanya disesuaikan dengan kelas sosial sang pemakai.
Bila pemakainya adalah kaum bangsawan, maka bahan kebaya yang dipakai ialah kain sutra, beludru, atau brokat. Budaya yang dibawa para pedagang Cina turut memperkaya kebaya berbahan premium ini.
Misalnya, bahan yang dipilih lebih transparan dan disertai berbagai teknik sulaman yang disebut krancang alias bordir terawang. Batas bawah kebaya pun dipendekkan, dengan guntingan akhir meruncing di depan. Kebaya model ini populer disebut kebaya encim, modis, dan penuh warna.
Sementara itu, kalangan biasa umumnya memakai kebaya berbahan katun atau tenun. Pasalnya, bahan ini bisa dibilang sangat terjangkau, sehingga mampu dibeli kasta terendah.
Kebaya Mulai Disesuaikan dengan Kepribadian Pemakainya
Seiring berjalannya waktu, bahan dan desain kebaya tak lagi disesuaikan kelas sosial, tetapi dikembangkan sesuai kepribadian si pemakai. Misalnya saja, kebaya longgar yang identik dengan sosok R.A. Kartini.
Kartini selalu tampil ringkas dengan kebaya panjang tertutup berwarna dof bersulam pita emas, disertai deretan uang emas sebagai perhiasannya. Tampilan ini boleh dibilang sesuai dengan kehebatan sang pahlawan emansipasi, serta derajatnya sebagai putri dan istri bupati.
Kebaya semacam ini juga digunakan oleh istri dan putri raja yang telah menikah. Selain itu, rakyat biasa juga meniru busana yang demikian untuk tampil di hari-hari istimewa, seperti pernikahan.
Demikianlah sekilas evolusi kebaya, dari yang semula pengganti kemben, menjadi pakaian yang disesuaikan dengan kelas sosial, hingga kepribadian pemakainya. (Nurisma)