Upaya Penurunan Emisi

Dana Triliunan Kurangi Emisi Karbon, Greenpeace: Belum Ada Dampak Nyata

Pemerintah telah mengucurkan dana sebesar Rp313 triliun hingga 2021 untuk kebutuhan investasi dalam upaya mengurangi emisi karbon.

Featured-Image
Ilustrasi, kawasan hutan di Kalsel bakal dialihfungsikan. Foto-Net.

bakabar.com, JAKARTA - Pemerintah telah mengucurkan dana sebesar Rp313 triliun hingga 2021 untuk kebutuhan investasi dalam upaya mengurangi emisi karbon.

Total kebutuhan investasi itu untuk mendukung kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) dalam mengurangi emisi karbon sekitar Rp4.002 triliun atau sekitar 281 miliar dolar AS hingga 2030.

Sebelumnya, pemerintah juga telah meningkatkan komitmennya terhadap pengurangan emisi dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri dan dari 41 persen menjadi 43,2 persen dengan bantuan internasional.

Terkait dana ratusan triliun itu, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas mempertanyakan klaim Menkeu Sri Mulyani untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia.

Baca Juga: Greenpeace: Deforestasi Kikis Lokalitas dan Budaya Papua

"Jika melihat angka dananya sangatlah besar, tapi kalau pertanyaannya sudah sampai ke masyarakat, tentu sampai saat ini saya belum mendapatkan informasi apapun bahwa masyarakat ikut merasakan manfaat dari upaya tersebut," ujar Arie saat dihubungi bakabar.com, Sabtu (1/4).

Menurutnya, belum banyak manfaat nyata dari klaim tersebut. Bahkan Arie turut mempertanyakan transparasi dan akuntabilitas dari dana yang sudah dikucurkan pemerintah itu. Menurutnya, transparansi dan akuntabilitas penting untuk diketahui publik

"Bisa dikatakan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang. Itupun kalau dananya transparan ya, karena dia sebenarnya tidak menjelaskan dananya ke siapa aja gitu," ujarnya.

Sejauh ini, sepengetahuan Arie, skema pendanaan investasi terkait proyek pengurangan emisi GRK, tidak pernah ada. Yang selama ini terjadi, hanyalah pemberian insentif terhadap pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KLBB).

Baca Juga: Soal Tambang Ilegal Kaltim, Greenpeace: Tak Lepas dari Peran Oligarki dan Elite Politik

"Kendaraan listrik yang disubsidi sejauh ini kan masih kepada pengusaha-pengusaha," kata Arie yang akrab disapa Rio.

Lebih lanjut, Rio menyerukan, jika pemerintah serius dalam upaya penurunan emisi karbon, seharusnya mendorong pengadaan energi terbarukan. Pengembangan energi terbarukan dampaknya lebih terlihat nyata ketimbang membuka investasi industri smelter nikel untuk pengadaan baterai EV, yang menurutnya memberi dampak buruk terhadap lingkungan.

Bahkan, pemerintah juga mendukung teknologi untuk batu bara cair, batu bara tergaskan, hingga gas metana batu bara. Kebijakan itu, menurut Greenpeace membuktikan jika pemerintah belum bisa lepas dari penggunaan energi kotor batu bara.

"Jadi tidak ada lagi seharusnya penggunaan batu bara di sektor energi dan pemerintah juga harus menuju ke energi bersih dengan menggunakan energi dari matahari. Kalau saat ini kan belum sampai 5% penggunaan energi matahari," ungkapnya.

Baca Juga: RUU EBET Bahas Energi Fosil, "350 Indonesia" Desak DPR Fokus Atur Energi Terbarukan 

Sehingga peralihan itu, menurut Rio yang seharusnya diarahkan, seperti pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebagai sumber energi yang bisa digunakan untuk beragam keperluan.

Juga penting untuk mendorong hadirnya transportasi massal berbasis listrik. Karena dengan kendaraan listrik, emisi di perkotaan dari sektor transportasi bisa ditekan secara signifikan.

"Jika kendaraan listrik tapi kemudian energinya atau listriknya masih berasal dari batu bara, itu sama saja bohong," lanjutnya.

Lebih lanjut Rio menyerukan, pemerintah seharusnya mampu menerapkan kebijakan zero deforestasi. Karena deforestasi sebagai penyumbang besar lepasnya emisi ke udara. "Jadi dalam artian sebenarnya tidak ada lagi deforestasi dari investasi skala luas khususnya yang berbasis lahan," ungkap Rio.

Baca Juga: Jatam Ungkap Jejak Kejahatan Lingkungan Harita Group di Obi dan Wawonii

Selama ini, deforestasi telah menyebabkan timbulnya dampak buruk bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Hilangnya pepohonan yang ada di dalam hutan dipastikan akan memicu berbagai bencana alam, seperti tanah longsor, banjir, hingga kekeringan. 

Selain itu, deforestasi telah menyebabkan terjadinya krisis iklim. Untuk itu, Rio berharap pemerintah mampu menjaga komitmennya dalam menurunkan emisi dengan mengurangi deforestasi. Usaha itu akan lebih berdampak nyata ketimbang berinvestasi pada bidang lain yang tidak memberikan manfaat kepada masyarakat.

"Sebenarnya itu pilihan yang harus dilakukan pemerintah dan harusnya komitmen terhadap itu," pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner