bakabar.com, JAKARTA - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tak menampik jika pemerintah Indonesia kekurangan dana untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030. Kesenjangan terkait pembiayaan pembangunan nilainya mencapai USD1 triliun.
"Setelah covid-19, dana pemerintah kurang untuk pembangunan. Ada financing gap sekitar USD1 triliun," ungkap Koordinator Tim Ahli, Sekretariat SDGs Bappenas, Yanuar Nugroho, dalam acara Peluncuran Indonesia Impact Alliance, Rabu (10/5).
Terlebih lagi, Presiden Joko Widodo mewanti-wanti agar pandemi covid-19 tak sampai menghambat realisasi SDGs.
"Pak Jokowi ketika diberi tahu bawah covid-19 membuat off track pembangunan, beliau bilang 'saya tidak mau target SDGs diubah'," kata Yanuar meniru ucapan sang Presiden.
Baca Juga: Isuzu Ajak 100 Sekolah Ikut Kompetisi Poster Bertemakan SDG 2030
Karena itulah, Bappenas melakukan sejumlah terobosan dan inovasi demi merealisasikan SDGs tepat waktu. Salah satunya, menggandeng United Nations Development Programme (UNDP) dengan meluncurkan Integrated National Financial Framework (INFF).
Itu merupakan inisiatif yang dibentuk untuk mendukung negara mengembangkan kerangka kerja sama keuangan yang terintegrasi di tingkat nasional. Dengan begitu, diharapkan dapat mempercepat tercapainya target SDGs di tanah air.
Teranyar, Bappenas kembali meneken kerja sama dengan Indonesia Impact Alliance (IIA). Kerja sama itu merupakan inisiatif dengan mekanisme investasi berdampak melalui skema pembiayaan campuran (blended finance).
Yanuar meyakini jika penerapan blended finance akan memperlancar aliran modal dari sektor swasta. Dengan cara itu, diharapkan bisa memudahkan investor dalam mendukung perusahaan berdampak di Indonesia, terutama wirausaha sosial.
Baca Juga: Indonesia Emas 2045, Bappenas: Manfaatkan Sumber Daya Berkelanjutan
Karena itu, Yanuar menegaskan, masyarakat Indonesia tak perlu risau dengan kedatangan tenaga kerja asing (TKA), karena hal itu merupakan strategi untuk menarik investor asing. Hal itu juga telah diatur sebelumnya.
"Saya kira pemerintah sudah meletakkan koridor-koridor yang arahnya benar. Misal, untuk pekerja middle low-tech itu harus dari Indonesia. Kalau pekerja hi-tech baru boleh dari luar, tapi harus ada 'barter' teknologi," jelasnya.