Hot Borneo

Buka-bukaan, Setoran Fee 6 Kontraktor ke Abdul Latif Bikin Geleng Kepala!

Total fee proyek yang disetorkan para kontraktor ke mantan Bupati HST Abdul Latif bikin geleng-geleng kepala. 

Featured-Image
Total fee proyek yang disetorkan para kontraktor ke mantan Bupati HST Abdul Latif bikin geleng-geleng kepala. Foto-apahabar/Bani

bakabar.com, BANJARMASIN - Total fee proyek yang disetorkan para kontraktor ke mantan Bupati HST Abdul Latif bikin geleng-geleng kepala. 

Berdasarkan keterangan 6 kontraktor yang dihadirkan JPU KPK, total fee yang disetor kepada Abdul Latif melalui mantan Ketua KADIN HST Fauzan Rifani mencapai Rp10 miliar lebih. 

Fakta tersebut terungkap dalam sidang dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TTPU) terdakwa Abdul Latif di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Rabu (1/3).

"Dari 6 saksi, lebih dari Rp10 miliar fee yang disetorkan kontraktor. Misal saksi Irwan, dia nyetor Rp4,67 miliar. Belum lagi yang lain," ucap JPU KPK, Taufiq Ibnugroho. 

Sejatinya, JPU KPK menghadirkan 7 saksi dalam sidang kali ini. Namun hanya 6 yang dapat dihadirkan.

Mereka adalah Irwan Gunawan, A Effendi, Dodi Wardana, Kamarul Zaman, Khairul, dan Rafi.

Dalam fakta persidangan, saksi Irwan mengaku sering memenangkan tender proyek peningkatan jalan di Bumi Murakata-julukan HST, pada 2016-2017 silam.  

Salah satunya peningkatan jalan di Kecamatan Batang Alai pada 2016 senilai Rp14 miliar.

Dalam proyek itu, Irwan menyetor fee proyek 10 persen kepada Latif melalui Fauzan.

"Total fee yang saya bayar Rp1,3 miliar. Saat itu saya serahkan ke Fauzan. Dua kali setor, satu menggunakan cek, satunya tunai," kata Irwan.

Kemudian masih di tahun yang sama, Irwan kembali memenangkan proyek pemeliharaan jalan dan jembatan senilai Rp11 miliar.

"Fee-nya Rp900 juta lebih saat itu," ungkapnya.

Setahun berikutnya, Irwan kembali mendapatkan proyek peningkatan jalan di Kecamatan Batang Alai senilai Rp13,6 miliar.

Adapun total fee yang disetorkan sebesar Rp1,1 miliar.

"Itu juga 10 persen. Saya serahkan ke Fauzan. Dua tahap," bebernya.

Di tahun yang sama, Irwan kembali mendapat proyek senilai Rp3 miliar dengan fee 10 persen. Hanya saja fee tak dibayar penuh lantaran terkena penalti.

"Saya hanya mampu menyetorkan Rp180 juta. Proyek kena penalti. Sampai saat ini sisanya tidak saya bayar," ujarnya.

Lantas Ketua Majelis Hakim Jamser Simanjuntak menanyakan alasan Irwan memberikan fee sebanyak itu?

Apakah karena dibantu memenangkan tender?

Irwan menjawab penyetoran fee dilakukan sebagai bentuk kontribusi sebagai kontraktor.

"Dari Fauzan ada arahan soal fee. Kalau dapat proyek apa kontribusi untuk Kadin?" jelas Irwan.

Jamser kembali menanyakan duit yang disetorkan ke Fauzan dikemanakan?

Irwan menjawab kurang paham soal itu.

Hanya saja, dia mengaku dari pembicaraan dengan para kontraktor lain bahwa uang itu untuk Abdul Latif. 

"Ya ke Pak Latif yang mulia. Duitnya untuk bupati," tegasnya. 

Sementara itu, saksi Kamarul Zaman mengatakan, para kontraktor mau tidak mau harus memberikan fee setiap mendapatkan proyek.

Jika tidak, maka mereka terancam tak mendapatkan pekerjaan.

"Kalau nggak bayar, nggak dapat kerja lagi," ujarnya.

Aturan soal pemberian fee tersebut juga sudah disampaikan oleh Fauzan.

"Fee semuanya diserahkan ke Fauzan karena komunikasi selalu dengan dia. Nggak pernah setor langsung ke pak bupati," tandasnya.

Menanggapi keterangan saksi, Abdul Latif membantah jika setoran fee kontraktor atas perintahnya. 

"Saya juga baru tahu kalau Fauzan bisa memberi proyek," kata Latif yang mengikuti persidangan secara virtual dari Lapas Sukamiskin, Jawa Barat (Jabar).

Adapun sidang selanjutnya digelar pada Rabu (8/3) mendatang, dengan agenda masih mendengarkan keterangan saksi dari JPU KPK. 

"Rencananya untuk Minggu depan ada 7 saksi. Termasuk satu yang hari ini tak bisa hadir," ungkap Taufiq Ibnugroho.

Diketahui, Abdul Latif didakwa atas kasus korupsi berupa gratifikasi dan TTPU oleh JPU KPK.

Latif didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp41 miliar lebih yang didapat dari jabatannya sebagai bupati tahun 2016-2017.

Ia dijerat Pasal 12 B juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Kemudian dalam dakwaan kedua, JPU menjerat dengan Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Editor


Komentar
Banner
Banner