Dibungkam Toxic Masculinity
Selain beberapa contoh kasus di atas, sudah pasti ada lebih banyak kasus pelecehan seksual yang dialami pria. Namun, kasus tersebut tak pernah terungkap ke permukaan lantaran kaum adam dibungkam toxic masculinity yang begitu mengakar di tatanan sosial.
Davies dan Rogers dalam Perceptions of male victims in depicted sexual assaults: A review of the literatur (2006) menyebut toxic masculinity membuat orang meyakini bahwa kasus laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan dianggap sebagai hal ‘di luar nalar.’
Stereotip memandang perempuan sebagai makhluk lemah lagi pasif secara seksual, sedangkan laki-laki adalah sosok yang lebih agresif, menjadi inisiator dalam hubungan seksual. Sehingga, sulit untuk membayangkan ‘perempuan yang submisif’ memaksa seorang pria yang secara terang menolak untuk berhubungan seks.
Laki-laki dianggap senantiasa menginginkan hubungan seksual, sehingga mereka tidak bisa diperkosa. Laki-laki pun dinilai cukup kuat, sehingga mustahil rasanya bila mereka tak dapat melawan kejahatan perkosaan.
Sebab itulah, laki-laki korban seksual seringkali merasa lemah, tidak berharga, dan kehilangan “kejantanannya” karena tidak mampu melindungi diri. Belum lagi, ada asumsi masyarakat yang menggeneralisir korban perkosaan sesama jenis sebagai bentuk penyimpangan seksual.
Russell dalam Conflict-related sexual violence against men and boys (2007) juga menuliskan hal serupa. Saat menjadi korban kekerasan seksual, laki-laki dewasa maupun anak laki-laki cenderung enggan untuk melaporkan kasusnya.
Laki-laki juga mengalami dampak sebagaimana yang dialami perempuan kala menjadi korban, yaitu depresi, kemarahan, rasa bersalah, menyalahkan diri sendiri, disfungsi seksual, trauma, bahkan keinginan untuk bunuh diri.
Masalah lain yang dihadapi laki-laki, termasuk adanya peningkatan perasaan tidak berdaya, citra diri yang rusak, dan adanya jarak emosional dengan orang lain (emotional distancing).
Tidak jarang seorang laki-laki korban perkosaan justru menyalahkan diri sendiri atas peristiwa yang dialami, mempercayai bahwa dirinya yang memberikan kesempatan kepada pelaku.