Oleh: Siti Munfajiroh
Miris, hati teriris, pedih, dan banyak rasa muncul seiring dengan berita-berita berkaitan dengan hubungan orangtua dan anak yang tidak harmonis di masa belajar dari rumah (BDR). Bahkan lebih mencengangkan lagi adanya korban meninggal yang diduga akibat ulah ibunya yang tak sabar membersamai anaknya belajar. Ada juga yang ditemukan gantung diri. Meski pemicu lain tentunya masih banyak.
Harapan orangtua untuk anak pastilah tinggi. Begitu pula harapan guru untuk siswa-siswinya. Mempunyai anak atau siswa yang berprestasi menjadi untaian tiap doa di hadapan Ilahi. Baik prestasi akademik maupun prestasi non-akademik. Beriman, berbudi pekerti luhur, berkarakter, santun, jujur, peduli, percaya diri, bertanggungjawab, sehat jasmani dan rohani, serta mempunyai semangat pembelajar sejati sepanjang hayat. Memiliki pengetahuan dan keterampilan berpikir, serta mampu bertindak kreatif , produktif, kritis, mandiri, dan kolaboratif. Seperti indikator yang diharapkan dalam standar kompetensi lulusan pada umumya.
Namun, pada prosesnya di kala pandemi ini harapan itu seperti makin menguap dan berlalu pergi. Dalam kondisi normal saja, anak yang belajar bersama di sekolah dididik oleh guru yang profesional masih perlu banyak bimbingan yang kadang menjemukan. Tugas demi tugas kadang terlewatkan. Tak paham materi ini sudah ditambah dengan materi itu. Tak kelar tugas ini sudah harus menyusul berpikir tugas yang itu. Dinasihati begini nanti begitu. Diarahkan ke sini malah ke situ. Orangtua pun sudah sering dibuat naik pitam.
Terlebih sekarang. Pandemi makin memicu orangtua darah tinggi. Pandemi yang mengharuskan anak belajar dari rumah (BDR), orangtua pun mau tak mau harus menjadi guru. Tanpa bekal pendidikan, tanpa ada pengalaman, tanpa acuan dan program, maka prestasi apa yang akan anak dapatkan?
BDR yang sudah berjalan beberapa bulan, sejak Maret hingga kini semakin memberikan fakta bahwa prestasi anak negeri tak mudah diwujudkan. Banyak keluhan dari berbagai pihak. Semua saling menyalahkan. Pihak guru sering dikambinghitamkan. Orangtua merasa berat dan tak rela dengan tambahan kesibukan. Si anak merasa ini menjadi sebuah kesempatan untuk selalu mencari alasan sehingga aman dari berbagai tuntutan.
Sikap siswa yang acuh terhadap tugas pembelajarannya apakah mampu dijadikan tolok ukur bahwa orangtua pun abai terhadap masa depannya? Sementara orangtua mengaku fasilitas sudah dipenuhi. Rela menekan kebutuhan lain demi BDR anak. Anak diberikan waktu hanya khusus untuk belajarnya yang dikatakan sangat sulit bagi mereka. Meski ini tak sesuai dengan harapan orangtua. Banyak anak yang terlihat serius dengan hp-nya tapi hanya untuk main game saja. Terbukti dengan tak hadirnya siswa di daring, sekedar mengisi daftar hadir pun tidak, apalagi tugasnya. Padahal si anak terlihat saja lalu lalang hp selalu di tangan. Ada apa gerangan? Jika sinyal menjadi keluhan mengapa main game online kok tetap jalan?
Dengan berbagai strategi guru menyikapi keadaan. Mengikuti berbagai pelatihan daring demi metode pembelajaran yang tak garing. Meski di rumah namun waktu tetap tersita habis. Apalagi dengan tanggapan dan kesanggupan siswa belajar dari rumah yang membuat miris. Dari jumlah siswa yang ada, hanya 50% saja yang terlihat antusias. Padahal di awal sudah disampaikan dengan pihak orangtua apa-apa yang perlu dilakukan. Diharapkan pendampingan dan pengawasan dari orangtua. Grup WA untuk orangtua pun sudah disediakan. Sebagai wadah penyaluran masukan, keluhan dan tempat mencari solusi. Lembar pemantauan kegiatan belajar dari rumah pun sudah diberikan.
Di minggu-minggu pertama masih lumayan banyak laporan kegiatan siswa dari rumah. Tingkat antusiasme masih tinggi. Tapi memasuki minggu ketiga tingkat antusiasme menurun drastis.
Keluhan-keluhan terdengar jelas yang bersinggungan dengan keadaan ekonomi. Evaluasi pun dilaksanakan demi mencapai kenyamanan belajar. Tugas-tugas diminimalkan. Namun, hingga ke depan malah tak jelas dengan aturan. Tugas-tugas terabaikan, sementara keluhan habisnya kuota makin dipertajam. Ini menjadi sebuah pertanyaan. Kuota habis buat apa? Dengan kebijakan bantuan kuota gratis dari pemerintah, apakah juga sudah maksimal kebermanfaatannya? Sementara respon belajar masih tetap sama.
Aplikasi-aplikasi pembelajaran pun disederhanakan. Sampai dihitungkan berapa habis kuota jika menggunakan untuk pembelajaran. Hingga diibaratkan lebih mahal harga jajan anak daripada harga kuota. Nah, jika masih saja anak menguras kocek orangtua berarti harus diselidiki. Jangan sampai pembelajaran terabaikan, kuota habis buat mainan. Tentu ini sangat merugikan. Setidaknya orangtua harus lebih jeli mengontrol aktivitas apa saja yang dilakukan anak dengan hpnya. Meski banyak alasan terungkap dari orangtua, namun ini menjadi kewaspadaan bersama. Jangan sampai kita lengah yang menjadikan anak merugi kelak.
Melihat kenyataan di lapangan, maka kontrol dari guru dan orangtua meski ditingkatkan. Adanya lembar pemantauan sebenarnya untuk membantu orangtua di rumah sebagai acuan atau panduan kegiatan apa saja yang harus dilaksanakan siswa di rumah. Dan ini benar-benar harus dipenuhi dibawah bimbingan dan pemdampingan orangtua. Anggapan sepele terhadap lembar pemantauan ini maka akan berujung pada tidak perhatiannya orangtua dan siswa terhadap proses pembelajarannya.
Padahal ini sangat merugikan. Untuk mengecek kemajuan pembelajarannya, maka orangtua diharuskan mengumpulkan dan mengkonsultasikan hasil pemantaun secara berkala, minimal seminggu sekali. Pada kesempatan itulah dibicarakan hal-hal yang perlu dievaluasi dan dan mencari solusi.
Keadaan BDR yang masih berlangsung ini memang mengharuskan kita saling bersinergi. Evaluasi demi evaluasi harus sering dilakukan demi mencari solusi terbaik untuk setiap kendala. Demi terwujudnya prestasi anak negeri, tentunya dibutuhkan keseriusan dalam berpartisipasi dari berbagai pihak.
Pemerintah dengan berbagai kebijakannya tetap mempertimbnagkan keadaan di lapangan. Kita, sebagai pihak terdampak langsung otomatis mengikuti kebijakan tersebut. Guru dan orangtua harus saling dukung.
Guru dan orangtua harus saling terbuka demi solusi jitu untuk anak bangsa. Karena kita tidak mampu berjuang sendiri. Dengan melangkah bersama diharapkan tujuan semakin mudah dituju. Supaya ini menjadi perhatian bersama, bahwa prestasi siswa perlu kita perjuangkan bersama. Dan yang terpenting adalah kontrol kita, karena kalau bukan kita yang berandil maka mau berharap kepada siapa? Jangan sampai karena BDR, prestasi anak negeri terkebiri.
*
Penulis adalah guru di SMPN 4 Satap Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu.