News

Bayang-bayang Ancaman Pidana ACT

apahabar.com, JAKARTA – Lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) diduga menyalahgunakan dana donasi yang dikumpulkan dari masyarakat….

Featured-Image
Kantor ACT. Foto-CNNIndonesia.com

bakabar.com, JAKARTA – Lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) diduga menyalahgunakan dana donasi yang dikumpulkan dari masyarakat. Para petingginya dikabarkan menerima gaji fantastis yang berasal dari uang donasi.

Selain itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun mengungkapkan sejumlah temuannya terkait transaksi keuangan kegiatan ACT.

Berdasarkan temuan PPATK, ada transaksi keuangan lembaga ACT yang diduga berkaitan dengan aktivitas terorisme. Transaksi ini berkaitan dengan jaringan terorisme Al-Qaeda. Selain itu, duit donasi diduga diputarkan untuk bisnis para pendiri.

PPATK pun memblokir 60 rekening milik ACT di 33 bank. Kementerian Sosial juga telah mencabut izin penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) ACT.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan temuan PPATK terkait transaksi keuangan ACT itu bisa menjadi bukti permulaan atas tindak pidana yang dilakukan lembaga tersebut untuk diproses hukum.

Ia menjelaskan, diperlukan setidaknya dua alat bukti yang bisa membuktikan bahwa ada kejahatan atau tindak pidana. Alat bukti ini bisa berupa keterangan saksi, keteranga ahli, alat bukti surat atau dokumen hingga keterangan orang yang diduga melakukan tindak pidana.

“Artinya, kalau bentuknya surat dari PPATK itu bukti surat, kemudian keterangan orang PPATK-nya sendiri mengenai kebenaran isi suratnya yang menyatakan ada transaksi,” kata Abdul, kutip CNNIndonesia.com.

Selain itu, lanjut Abdul, dugaan pendanaan terorisme juga bisa diproses secara hukum jika memang terbukti terjadi dan dilakukan.

Dalam hal ini, menurut Abdul, bisa diterapkan Pasal 55 KUHP dan atau Pasal 56 KUHP Juncto UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme.

Tak hanya itu, dugaan penyelewenangan dana oleh ACT ini juga bisa dikaterogikan dalam tindak pidana penggelapan. Ini terkait pemotongan donasi sekitar 13,5 persen yang dilakukan oleh ACT.

Padahal, merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pengumpulan Sumbangan, menyatakan pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyak 10 persen dari hasil donasi.

“Selain sanksi adminstratif dengan pencabutan izin dari situ sebenarnya bisa dikembangkan ke pidana, artinya memang ada penggelapan. Tidak sesuai dengan aturan, dia (uang donasi) digunakan untuk bayar gaji yang Rp250 juta dan sebagainya. Itu sudah masuk tindak pidana kalau menurut saya,” ucap Abdul.

Abdul menuturkan laporan soal dugaan penggelapan ini bisa dilaporkan oleh siapapun yang mengetahui. Artinya, tidak hanya mereka yang menjadi donatur saja yang bisa melapor.

“Karena dia menjadi pidana umum, bukan delik aduan. Bukan masyarakat yang menyumbang yang membuat laporan, tapi semua masyarakat bisa melaporkan kalau terjadi penggelapan,” ujarnya.

Senada, pengamat intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia Stanislaus Riyanta menyebut dugaan penyelewenangan dana oleh ACT, khususnya terkait terorisme bisa diusut secara pidana. Menurutnya, laporan dari PPATK bisa jadi bukti permulaan yang cukup.

“Laporan dari PPATK adalah bukti permulaan yang bisa menjadi dasar penyidikan lebih lanjut terkait keterlibatan dalam terorisme,” ujarnya.

Stanislaus menyampaikan ada beberapa aturan atau undang-undang yang dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan dalam perkara ACT ini. Di antaranya UU Terorisme, UU Pengumpulan Uang atau Barang, dan Peraturan Menteri Sosial tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang.

Celah Regulasi

Munculnya dugaan penyelewengan dana oleh ACT ini disebut tak lepas dari regulasi atau aturan yang ada saat ini. Menurut Abdul, ada celah dalam regulasi sehingga dana lembaga filantropsi seperti ACT bisa dengan mudah disalahgunakan.

Abdul berpendapat semestinya aturan yang mengatur lembaga ini harus setingkat undang-undang, tak hanya sekedar peraturan menteri.

“Betul (ada celah regulasi), karena belum ada regulasinya yang setingkat undang-undang, sekarang baru ada Permensos saja,” ujarnya.

Diketahui, salah satu aturan yang mengatur terkait lembaga filantropi ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pengumpulan Sumbangan.

Jika nantinya undang-undang dibuat, kata Abdul, yang harus menjadi poin penting adalah soal transparansi penggunaan ataupun penyaluran dana yang telah dikumpulkan dari masyarakat.

“Unsur transparansi itu dia harus membuka sumbangan berapa saja, dari mana saja, dan digunakan untuk apa saja, kalaupun ada undang-undang yang disusun itu unsur transparansi harus nomor satu, itu menjadi pertanggungjawaban publik,” katanya.

Stanislaus juga sependapat bahwa ada celah dalam regulasi yang berlaku saat ini. Sebab, jika regulasi yang berlaku saat ini sudah memadai, maka penindakan terhadap penyelewengan dana ini semestinya sudah bisa dilakukan.

“Ya karena jika regulasinya bagus maka penindakan sudah dilakukan, ada dasar hukum yang kuat maka penegak hukum tidak perlu ragu, apalagi ini menyangkut dugaan terorisme,” ucap Stanislaus.

“Pemerintah perlu menyiapkan regulasi terkait pengumpulan dan penyaluran dana dari masyarakat, dengan regulasi yang baik maka kemungkinan penyalahgunaan dana bisa lebih ditekan,” imbuh dia.

Stanislaus menilai kasus ACT ini mesti menjadi sebuah pelajaran. Tak hanya soal masalah regulasi. Tapi juga soal pengawasan terhadap lembaga filantropi lainnya.

Sebagai lembaga yang mengawasi soal transaksi keuangan, kata dia, PPATK juga mesti intens dalam melakukan pengawasan.

“Kasus ACT harus menjadi pelajaran, sehingga perlu diwaspadai terjadi di lembaga lain, waspada perlu tapi tetap harus hati-hati,” tuturnya.



Komentar
Banner
Banner