bakabar.com, BANJARMASIN – Membawa dua koper bukti, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan resmi diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Forum Kota Banjarmasin, Nisfuady dan Ketua KADIN Kota Banjarmasin, Muhammad Akbar Utomo bersama tim kuasa hukum Borneo Law Firm (BLF) mendatangi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Jumat (22/4).
Sebelumnya, uji materi atau judicial review (JR) memang sudah terlebih dulu didaftarkan melalui online web Simpel MK.
"Di MK, kami menyerahkan kelengkapan dokumen hardcopy asli permohonan JR," kata Direktur BLF, M Pazri, usai mendaftar gugatan.
Dalam mengajukan gugatan, ada dua poin yang BLF persoalkan. Pertama, pengujian formil perkara nomor 52 dan permohonan pengujian materill perkara nomor 53 terhadap UU 8/2022 tentang Provinsi Kalsel pada Pasal 4 yang mengubah kedudukan ibu kota provinsi ke Banjarbaru.
Pazri kembali menegaskan, alasan kuat JR diajukan lantaran banyaknya ditemui kejanggalan dalam proses pembentukan UU Provinsi Kalsel.
Beleid soal pemindahan ibu kota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru itu dinilai tidak berdasar secara filosofis, sosiologis, yuridis, dan historis.
Hal itu juga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Sangat merugikan hak konstitusional masyarakat Banjarmasin dan Kalsel pada umumnya," tegasnya.
Pazri lantas merujuk Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah.
Ayat (1) Lokasi calon ibu kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ditetapkan dengan keputusan gubernur dan keputusan DPRD provinsi untuk ibu kota provinsi, dengan keputusan bupati dan keputusan DPRD kabupaten untuk ibukota kabupaten.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk satu lokasi ibu kota.
(3) Penetapan lokasi ibu kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
Sementara dalam naskah akademik RUU sebelumnya, kata dia, tidak ada kajian dan pembahasan khusus pemindahan ibu kota Provinsi Kalsel ke Banjarbaru.
Termasuk, tidak ada rapat paripurna, tidak ada pembahasan, tidak ada persetujuan pembiayaan DPRD Provinsi Kalsel memutuskan ibukota berpindah, tidak ada Surat Keputusan (SK) Gubernur Kalsel ibu kota berpindah, tidak ada melibatkan dan tidak ada persetujuan atau dukungan Bupati dan Wali Kota, DPRD Kab/Kota se-Kalsel sesuai dengan Peraturan Pemerintah.
Perancangan UU 8/2022 juga menurutnya bertentangan dengan UU 12 Tahun 2011 Jo UU 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan.
Pazri menilai, tidak ada urgensi atau hal yang mendesak untuk memindahkan ibu kota Provinsi Kalsel. Malah, keputusan itu berpotensi merugikan masyarakat menghambat pertumbuhan ekonomi.
"Karena APBD Kalsel akan difokuskan membangun sarana prasarana di Banjarbaru, padahal saat ini Kalsel masih berjibaku dengan pemulihan ekonomi dari pandemi dan semua kebutuhan pokok serba naik, sehingga masih banyak untuk biaya hal prioritas dan untuk kesejahteraan masyarakat Kalsel," tuturnya.
"Dengan semangat spirit perjuangan Raja Banjar Pertama Sultan Suriansyah, kami optimis menang semua akan kami buktikan dengan berbagai macam dalil, bukti-bukti serta saksi-saksi fakta yang kuat, JR ini dikabulkan MK dan kedudukan ibu kota Provinsi Kalsel tetap Banjarmasin," pungkasnya.
Digugat Besok, Pemkot Pamer Saksi Ahli UU Pemindahan Ibu Kota Kalsel