bakabar.com, JAKARTA – “Jelas betapa kejam dan biadabnya aniaya yang dilakukan petualang-petualang G30S. Ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi–enam jenderal dan seorang perwira pertama–ditemukan dalam keadaan tubuh yang jelas penuh luka karena siksaan. Bekas luka di sekujur tubuh pahlawan kita.”
Demikian pernyataan Soeharto selaku Pangkostrad, Senin (4/10/1965), sebagaimana disiarkan langsung oleh RRI dan TVRI. Kala itu, jasad para korban pembantaian G30S baru diangkat – tim forensik bahkan belum dibentuk, namun media massa sudah gencar memberitakan betapa sadisnya pembantaian oleh PKI.
Sebut saja, Harian Angkatan Bersendjata. Sehari setelah pernyataan Soeharto, media tersebut menampilkan sejumlah foto mayat yang mulai membusuk, lantas mendeskripsikannya sebagai ‘perbuatan barbar dalam bentuk penyiksaan.’
Berita Yudha tak mau ketinggalan. Pada edisi 9 Oktober 1965, koran ini melaporkan jasad Lettu Piere Tendean mengalami luka sayatan pisau di dada sebelah kiri dan perut, leher dipenggal, bahkan kedua matanya dicungkil ke luar.
Narasi-narasi mengerikan seperti mata dicungkil, alat vital dipotong dan dimasukkan ke dalam mulut masing-masing korban, terus digaungkan media kala itu. Padahal, tim forensik bentukan Soeharto menemukan hasil yang jauh berbeda dari deskripsi sadis tersebut.
Eros Djarot dkk dalam buku Siapa Sebenarnya Soeharto menjelaskan, tim forensik yang terdiri dari dua orang dokter tentara dan tiga ahli forensik sipil melakukan otopsi selama delapan jam: mulai pukul 16.30 hingga 00.30. Hasilnya, mereka sama sekali tak menemukan bekas siksaan biadab di tubuh para korban sebelum terbunuh.
Propaganda Berhasil Menyulut Emosi Massa
Sayang, narasi-narasi soal betapa biadabnya PKI sudah kadung membakar emosi masyarakat Indonesia. Di pelbagai daerah, massa mulai melancarkan aksi memburu anggota PKI beserta simpatisannya.
Amukan massa juga meluluhlantakkan markas PKI di Jakarta pada 8 Oktober 1965. Spanduk bertuliskan “Hukum Mati Pentjulik Djenderal” terpampang lebar di depan pangkalan nan telah hancur lebur itu.
Markas Pemuda Rakyat – organisasi yang diduga berafiliasi dengan paham komunisme – turut menjadi sasaran amukan massa. Lima hari selang penghancuran markas PKI, massa yang kabarnya berasal dari kalangan mahasiswa muslim, menyulut si jago merah untuk melahap bangunan itu.
Desakan Aktivis dan Respons dari Petinggi
Jenderal Nasution – penyintas pembantaian G30S – dalam berbagai memoarnya pun mengaku terus menerima kedatangan aktivis dan mahasiswa yang menyatakan ‘perang’ terhadap PKI. Tuntunan dari berbagai kalangan turut bermunculan ke permukaan, salah satunya dari tokoh muslim.
Hal itu sebagaimana dituturkan seorang wartawan Amerika Serikat, Donald Hindley, “Pada sore hari tanggal 1 Oktober, beberapa tokoh muslim telah bertemu dan setuju membentuk Komando Aksi Muslim Melawan Komunisme. Para tokoh ini, antara lain, berasal dari HMI, PII, Gasbiindo, dan Muhammadiyah. Satu-satunya wakil NU adalah Subchan, yang dalam beberapa hal tidak sejalan dengan kepemimpinan partainya.”
Masyarakat juga mendesak Presiden Soekarno untuk membubarkan antek-antek PKI. Bapak Proklamator ini pun membentuk Dwikora, bahkan secara khusus memberikan mandat pada Mayjen Pranoto Reksosamudro dan Mayjen Soeharto.
Berbekal mandat tersebut, Soeharto segera membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 10 Oktober 1965. Badan ini bertugas meluncurkan, mendukung dan mendorong kampanye anti-komunis, di mana eksistensi PKI dilarang dan secara fisik dihancurkan.
Tentara dan Masyarakat Bersatu Membasmi ‘Orang PKI’
Robert Cribb dalam The Indonesian Killings, 1965-1966: Studies from Jawa and Bali menyebut, pembantaian massal mulai berlangsung usai Kopkamtib dibentuk. Tentara beserta masyarakat bersatu membasmi orang-orang yang mereka kira antek PKI.
Target mereka tak jelas. Orang-orang yang berpenampilan bringas bak ‘preman’ dianggap sebagai PKI: dihabisi tanpa diadili, tanpa verifikasi, tanpa mengecek kembali apakah yang bersangkutan benar-benar simpatisan ‘kaum kiri.’
Pembunuhan massal lantas menyapu seluruh Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Ada pula eksekusi yang terjadi di pulau-pulau lain terkait suasana politik waktu itu, di mana skalanya cenderung lebih kecil ketimbang Jawa dan Bali.
“Kebanyakan, pihak yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan itu adalah tentara dan kelompok vigilante. Di beberapa kasus, tentara turun langsung dalam pembuhuhan. Kadang, mereka memasok senjata dan pelatihan dasar, serta memberi dukungan pada kelompok sipil yang melakukan banyak pembunuhan,” beber Cribb.
Hal senada juga disampaikan Victor M. Fic dalam buku berjudul Kudeta 1 Oktober 1965. Dirinya merawikan peristiwa kala itu sebagai ‘pembantaian besar-besaran tiada tara’ yang berlangsung sangat cepat dan tanpa sangsi.
“Operasi-operasi militer disertai oleh balas dendam pribadi dan kelompok, dengan akibat banyak orang yang tidak berdosa lenyap,” tulisnya.
Jumlah Korban Tak Pasti: Puluhan Ribu, Ratusan Ribu, atau Jutaan Orang?
Peristiwa kelam ini berlangsung selama kurang lebih satu tahun. Jumlah korban pembantaian massal belum menentu, ada sumber yang menyebut puluhan ribu, ratusan ribu, hingga jutaan orang tak bersalah meregang nyawa.
Cribb menyebut jumlah resmi dari korban yang terbunuh mencapai 78.500 orang, sebagaimana diungkapkan Komisi Pencari Fakta. Rinciannya, 54.000 orang di Jawa Timur, 12.500 orang di Bali, 10.000 orang di Jawa Tengah dan 2.000 orang di Sumatra Utara.
Namun, komisi yang berada di bawah Mayjen Sumarno itu sebenarnya dibentuk pada akhir Desember 1965, di mana peristiwa masih berlangsung. Sehingga, sejumlah pihak – bahkan Komisi Pencari Fakta sendiri – menganggap jumlah 78.500 orang terlalu rendah.
Sementara itu, survei Kopkamtib pada 1966 menyatakan jumlah korban tewas mencapai satu juta, di mana 800.000 di antaranya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta 100.000 lainnya di Bali dan Sumatera. Namun, angka 1 juta orang tewas ini juga dianggap terlalu banyak.
Sepuluh tahun setelahnya, Komandan Kopkamtib kala itu, Sudomo, kembali menyebut jumlah yang berbeda. Menurutnya, ada sekitar 500.000 orang meregang nyawa, tapi tak jelas angka tersebut bersumber dari mana.
Begitu banyak versi, begitu marak tafsir. Pun begitu banyak korban, kebencian, bahkan saling tuding. Sampai sekarang, berbagai niat untuk ‘menutup buku dari bab gelap’ sejarah Indonesia itu tak kunjung berhasil.
G30S, PKI, dan pembunuhan ratusan ribu orang justru makin menjadi abstrak. Gaduh-gaduh kaum kiri di ujung September seolah tak pernah usai. Malahan, turut jadi ‘bahan jualan’ dalam pemilihan kepala daerah, juga pemilihan presiden.