Wisata Kota Magelang

SMPN 1 Magelang, Saksi Berdirinya MULO lalu Berhenti Akibat G30S PKI

Kota Magelang di Jawa Tengah memiliki banyak sejarah yang belum diketahui masyarakat umum.

Featured-Image
Gambar SMPN 1 Magelang dan perbandingan bangunannya saat ini (Apahabar.com/Arimbihp)

Apahabar.com, MAGELANG - Kota Magelang di Jawa Tengah memiliki banyak sejarah yang belum diketahui masyarakat umum. Tidak hanya keunikan Borobudur yang melegenda, Kota Magelang juga punya peninggalan sejarah kolonial yang menjadi saksi sejarah perkembangan Bangsa Indonesia di bidang seni, kebudayaan hingga pendidikan.

Salah satu bangunan bersejarah yang berada di Kota Magelang dan masih berdiri kokoh hingga saat ini adalah SMP Negeri 1 Kota Magelang. Sekolah yang terletak di Jalan Pahlawan nomor 66, Kota Magelang, Jawa Tengah itu merupakan bekas sekolah jaman Belanda.

Sekolah yang terletak di kawasan Kampung Botton Nambangan Kelurahan Magelang Kota Magelang itu dulunya dikenal sebagai Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). MULO adalah sekolah khusus bagi warga pribumi.

"SMPN 1 adalah eks Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) milik pemerintah yang difungsikan untuk sekolah pribumi," kata Gusta Wisnu Wardhana, sejarawan Magelang, Sabtu (30/9).

Baca Juga: Magelang Etno Carnival 2023, Upaya Hidupkan Gairah Kesenian Rakyat

Sejauh ini, sekolah tersebut masih mengusung konsep struktur bangunan kuno dan hanya beberapa bagiannya yang mengalami sedikit renovasi. Menurut Gusta, sekolah yang didirikan pada 11 Maret 1912 itu, pada masanya merupakan sekolah setara jenjang SMP atau SMA.

Siswa yang bersekolah di MULO perlu menempuh pendidikan 3 hingga 4 tahun untuk memperoleh ijazah. "Meski diperuntukkan bagi pribumi, MULO menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar," terang Gusta.

Sabak untuk menulis di masa MULO (Apahabar.com/Arimbihp)
Sabak untuk menulis di masa MULO (Apahabar.com/Arimbihp)

Sembari menyusuri kawasan Bottonweg 21 te Magelang, Gusta menuturkan, kegiatan belajar di MULO kala itu masih menggunakan sabak sebagai tempat menulis dan grip sebagai pensilnya.

"Maka di masyarakat Jawa Tengah menyebut tempat pensil dosgrib, bukan kotak pensil, karena jaman dahulu tempat untuk menyimpan grip," tuturnya.

Baca Juga: Mengenang G30S PKI dan Kiprah Ahmad Yani Sang Juru Selamat Magelang

Adapun sabak merupakan papan untuk menulis yang terbuat dari lempengan batu hitam tipis berukuran 30 x 20 cm. Sabak biasanya dilengkapi dengan grip atau alat menulis yang terbuat dari semacam batu hitam sebagai pensil yang diruncingkan.

Adapun cara meruncingkan dengan cara digosok-gosokkan pada pecahan genteng kemudian digoreskan pada sabak.

Gusta menuturkan, sekolah MULO kala itu telah menggunakan lap basah atau kain untuk menghapus tulisan pada sabak. "Caranya digosok sampai bersih, nanti kalau sudah, ditimpa lagi dengan tulisan yang baru," ujarnya.

Bukan cuma cara menulisnya yang terbilang klasik, pakaian para siswa kala itu juga sangat tradisional. Siswa yang bersokolah MULO menggunakan bawahan dari kain jarik, lengkap dengan ikat kepala.

Baca Juga: Musim Kemarau Panjang, Harga Tembakau Lembaran di Magelang Naik 2 Ribu

Khusus untuk pribumi, pada masa itu, banyak yang belum menggunakan sepatu. Mereka biasanya tidak menggunakan alas kaki.

"Namun untuk siswa pribumi belum mengenakan sepatu, jadi masih tanpa alas kaki, masyarakat menyebutnya nyeker," jelasnya.

MULO di era Jepang

Sejarawan yang juga menjadi pendiri wisata sejarah Mlaku Magelang itu memaparkan jika MULO sempat mengalami pergantian nama. Hal itu terjadi seiring dengan masuknya Jepang ke tanah air.

Saat Jepang masuk ke Magelang, nama MULO berganti menjadi Syoto Chu Gakko. "Namanya bukan lagi MULO, tetapi Syoto Chu Gakko, menjadi sekolah Jepang namun stratanya sama," paparnya.

Baca Juga: Jumlah Wisatawan Solo Meningkat Hampir 100 Persen di 2023

Pada masa kekuasaan Jepang, lanjut Gusta, siswa di Syoto Chu Gakko juga dididik dengan disiplin ala bangsa Nippon. Tak hanya itu, sebelum masuk sekolah, para siswa wajib membungkukkan badan ke arah Tokyo untuk menghormati dewa matahari terbit.

"Siswa yang bersekolah juga diajarkan bahkan diwajibkan untuk bisa menyanyikan lagu-lagu berbahasa Jepang," terang Gusta.

Jepang dan Rantai Kentjana

Menjelang kekalahan Jepang pada tahun 1942, meletuslah tragedi berdarah yang menewaskan 3 siswa di sana.

"Serangan ke MULO dilakukan oleh Jepang menggunakan pesawat terbang yang kemudian menewaskan siswa bernama Prapto Kecik, Soeprayitno dan Surono," papar Gusta.

Baca Juga: Tingkatkan Daya Tarik Wisata, Pemkot Surabaya Tata Kawasan Kota Tua

Untuk mengenang tragedi tersebut, di sekolah itu akhirnya didirikan monumen peringatan. Oleh pihak sekolah, monumen itu diberi nama Monumen Rantai Kencana.

Pasang Surut SMPN 1 

Selain pada saat pemerintahan Jepang, SMPN 1 Magelang juga mengalami beberapa kali pergeseran fungsi, utamanya pascakemerdekaan.

"Pernah jadi Taman Madya (bagian dari Taman Siswa, Gedung Pusat Pengembangan Agama Kristen, hingga Palang Merah Indonesia," tuturnya.

Gusta menceritakan, SMPN 1 bahkan sempat berhenti beroperasi lantaran beberapa guru tercatut namanya dalam kasus G30S PKI.

Baca Juga: Pilgrim Tour 20 Negara, Candi Borobudur Dilirik jadi Paket Wisata Religi Kelas Dunia

"Kegiatan belajar sempat dihentikan. Namun sesudah Orde Baru pemerintah membuka kembali sekolah yang kemudian diberi nama SMP Negeri Magelang," jelas Gusti.

Nama itu kemudian bertahan hingga sekarang, dan dilengkapi dengan embel-embel SMPN 1 Kota Magelang. Selain memiliki nilai sejarah yang tinggi, SMPN 1 Kota Magelang juga dikenal sebagai sekolah favorit yang menorehkan banyak prestasi.

Editor
Komentar
Banner
Banner