G30S PKI

DN Aidit, Kisah Anak Islami yang Tumbuh Menjadi Pemimpin PKI

Peristiwa Gerakan 30 September menjadi momok mengerikan bagi bangsa. Siapa sangka aksi tersebut diketuai oleh anak yang tumbuh dalam balutan agama yang kental

Featured-Image
Mengenal Tokoh DN Aidit, sang penghafal Quran yang memimpin PKI. Foto: wikicommon

bakabar.com, JAKARTA - Peristiwa Gerakan 30 September PKI atau G30S PKI menjadi momok mengerikan bagi bangsa. Siapa sangka aksi tersebut diketuai oleh anak yang tumbuh dalam balutan agama yang kental.

Mari bersama kita menyusuri kisah sang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu termasuk dalam jajaran partai politik terbesar di Nusantara. Dan juga menjadi awal pertumpahan darah dalam sejarah bangsa ini.

Menyusuri Kisah Kecil DN Aidit, Bocah Penghafal Quran asal Belitung

DN Aidit. Foto: istimewa
DN Aidit. Foto: istimewa

Kisah ini berawal pada 30 Juli 1923, Abdullah Aidit bin Ismail dan Nyi Ayu Mailan, sepasang suami-istri melahirkan seorang bayi laki-laki sehat di Tanjung Pandan. Seorang putra sulung yang diberi nama Achmad Aidit.

Aidit sendiri merupakan nama belakangnya sendiri, kelak akan disematkan pada anak-anaknya yang lain.

Baca Juga: Menyusuri Museum Sudirman, Saksi Terakhir sebelum Wafat Sang Jenderal

Bocah lelaki tersebut lahir dan tumbuh dalam keluarga Islami yang kental. Sang paman, Abdurrachim merupakan seorang guru ngaji yang mengajarinya membaca dan mengkhatam Alquran.

Amat, begitulah sapaan kecil yang disematkan padanya, nama tersebut kerap digunakan oleh keluarga dan teman terdekatnya. Ia lahir dan tumbuh dalam keluarga islamis yang kental.

Melalui sang paman, Abdurrachim, bocah laki-laki itu diajari mengaji dan ilmu agama, sehingga membuatnya khatam Quran dan sering ditunjuk menjadi seorang muazin di masjid, setidaknya itu yang diungkap Satriono Priyo Utomo, yang dituliskan dalam Aidit, Marxisme-Leninisme, dan Revolusi Indonesia (2006).

Kedua Orang Tua dan Silsilah Keluarga Terpandang

DN Aidit dan ayahanda. Foto: dok. Republika
DN Aidit dan ayahanda. Foto: dok. Republika

Ayahanda dan sang ibunda Achmad bukanlah orang sembarang, melainkan memiliki garis keturunan pemuka agama dan orang penting di tanah kelahirannya.

Sebut saja dari keluarga sang ayah, Abdullah Aidit, merupakan tokoh agama dan pelopor pendidikan Islam di Belitung yang disegani masyarakat dan salah satu pendiri organisasi keagamaan 'Nurul Islam'.

Haji Ismail, sang kakek, merupakan seorang pemuka agama dari Belitung. Dan juga seorang saudagar kaya di sana.

Baca Juga: SMPN 1 Magelang, Saksi Berdirinya MULO lalu Berhenti Akibat G30S PKI

Sang ibunda, Nyi Ayu Mailan,merupakan seorang keturunan nigrat. Ayahanda, atau kakek dari Achmad, adalah Ki Agus Haji Abdul Rahman, tuan takur di tanah kelahirannya.

Melihat latar belakang tersebut, tidak heran jika Achmad beserta adik-adiknya dididik secara Islami sejak dini.

Perjalanan Migrasi ke Batavia

Perpindahan ke Batavia menjadi titik hidupnya menjadi Ketua terakhir Partai Komunis Indonesia. Foto: wikipedia
Perpindahan ke Batavia menjadi titik hidupnya menjadi Ketua terakhir Partai Komunis Indonesia. Foto: wikipedia

Berawal dari pulau Belitung, dengan bekal keluarga yang terpandang dan dihormati, Aidit muda memutuskan bermigrasi ke Jakarta.

Saat perpindahan tersebut, ia turut meminta restu sang ayah untuk mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Melalui perundingan sengit, akhirnya restu tersebut berada dalam genggaman.

Melalui peresmian yang terjadi pada akhir era Belanda di Indonesia dan sebelum kedatangan Jepang. Menjadi titik perubahan sudut pandangnya pada dunia. Dan memulai lembaran baru sebagai DN Aidit, calon Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (PKI).

Baca Juga: G30S PKI, Sejarah Kelam Terguncangnya Nasionalisme Indonesia

Mempelajari ilmu sosial yang dibawa Karl Marx membuat Aidit menjalin relasi dengan banyak tokoh ternama, diantaranya Mohammad Yamin, serta calon pemimpin Republik Indonesia kala itu, Soekarno dan Mohammad Hatta.

Diketahui ia juga terlibat dalam Peristiwa Rengasdengklok menjelang kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dan juga terlibat dalam perlawanan PKI di Madiun tahun 1948.

Sepak terjangnya dalam PKI tak menyurutkan paham agamis dalam dirinya, dan cukup vokal dalam berbicara tentang Islam, khususnya menepis tuduhan anti-agama yang kerap disematkan pada PKI.

Hingga 25 November 1965, merupakan akhir perjalanan hidup DN Aidit. Pemimpin PKI tersebut dieksekusi mati tanpa pernah sempat diadili, dan menjadi seorang tokoh penyebab pertumpahan darah pada akhir bulan September itu.

Editor


Komentar
Banner
Banner