Oleh: Haslina Akil, S.Pd.
KOMUNIKASI menggunakan bahasa ‘alay’ merupakan suatu hal yang sudah lazim kita temui di masyarakat, termasuk di sekolah. Ada kesan penggunanya terlihat keren jika menggunakan bahasa alay ini.
Menurut Koentjara Ningrat, "alay” adalah gejala yang dialami pemuda-pemudi Indonesia yang ingin diakui statusnya di antara teman-temannya. Gejala ini akan mengubah tak hanya gaya tulisan, tetapi juga gaya berpakaian, sekaligus meningkatkan kenarsisan, yang berpotensi memberikan pengaruh negatif di masyarakat.
Sebagian pengguna bahasa alay, khususnya pelajar, barangkali memang ingin dianggap mengikuti tren kekinian. Memang kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa ini di lingkungan pertemanan. Bahasa ‘gaul’ ini tidak mereka gunakan di dalam lingkungan keluarga, apalagi di dalam kelas.
Di Jakarta, muncul istilah “anak Jaksel”. Sebutan itu ditujukan kepada mereka yang suka menggabungkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Percampuran bahasa ini juga bisa saja dianggap alay dalam kelompok masyarakat lainnya.
Atau di dalam komunitas Banjar misalnya, ada sekelompok selebgram yang kerap menggunakan bahasa Banjar yang dicampur aduk dengan bahasa “lo gue” ala anak-anak Jakarta. Memang sepintas ini lucu. Tapi tentu belum tentu berkontribusi baik dalam perkembangan bahasa Indonesia ke depan.
Lalu belakangan muncul pula istilah-istilah yang bisa saja disebut sebagai ke-alay-an baru. Misalnya saja, kata “tiba-tiba” berubah menjadi “tetiba” atau “gara-gara” yang berubah menjadi “gegara”. Dan masih banyak contoh lainnya yang banyak beredar di sekitar kita.
Oleh karena itu, penting rasanya untuk tetap menjaga kemurnian berbahasa Indonesia. Sebab bahasa alay sering kali mengabaikan kaidah, bahkan logika bahasa. Misalnya yang sering muncul di dunia maya adalah kata “asw”. Sepintas bagi yang tidak mengetahui, orang akan mengira maksud dari kata itu adalah ucapan salam dalam ajaran Islam. Tapi ternyata “asw” merujuk pada kata “asu” yang berarti anjing. Atau yang sudah sering dibahas yakni perubahan kata anjing menjadi anjir atau anjim.
Kondisi ini pernah dirasakan oleh salah satu teman saya ketika melaksanakan pembelajaran melalui daring. Dia tidak menyadari bahwa tulisan percakapan melalui pesan WhatsApp itu memiliki arti yang sangat kasar.
Ini tentu bisa menjadi ancaman serius bagi eksistensi bahasa sekaligus dapat memengaruhi moralitas anak-anak kita. Wajar jika kita khawatir bahasa alay semacam ini akan menggusur eksistensi bahasa Indonesia. Dan itu bisa saja terjadi jika kita tidak memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap nasib bahasa Indonesia.
Aktivitas berbahasa sangat erat kaitannya dengan budaya sebuah generasi. Kalau generasi negeri ini kian tenggelam dalam pudarnya bahasa Indonesia yang lebih dalam, mungkin bahasa Indonesia akan semakin sempoyongan dalam memanggul bebannya sebagai bahasa nasional dan identitas bangsa. Dalam kondisi demikian, diperlukan pembinaan dan pemupukan sejak dini kepada generasi muda agar mereka tidak mengikuti pembusukan itu. Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa tercermin pada perilaku masyarakat yang mulai meninggalkan bahasa Indonesia dan terbiasa menggunakan bahasa alay.
Penulis adalah guru SMPN 3 Batulicin
*