Di tengah aktivitasnya itu, Sultan Banjar pun menghampirinya. Betapa terpukau sang Sultan begitu melihat lukisan Arsyad yang indah lagi sarat makna.
Lukisan itu berupa kaligrafi lafadz Allah yang dikelilingi gunung, matahari, dan benda-benda alam lainnya. Arsyad kecil berdalih, komposisi yang demikian bermakna bahwa benda alam tersebut tak bakal ada jika Allah tidak menciptakannya.
Sang Sultan lantas memerintahkan awaknya untuk mencarikan orang tua Arsyad. Dirinya hendak meminta izin memboyong bocah itu ke istana.
Di istana, Arsyad kecil menunjukkan perkembangan yang luar biasa jika dibandingkan anak-anak seusianya. Dia bahkan sudah bisa membaca Al-Quran dengan lancar.
Tekad sang Istri Melepas Arsyad ke Tanah Suci
Kisah berlanjut sampai ke masa di mana Arsyad sudah beristri. Kala usianya 30 tahun, sang istri tengah mengandung buah hati pertama mereka.
Namun, di tengah momen membahagiakan itu pula, Arsyad membuat keputusan berat. Dirinya mengatakan ingin belajar memperdalam agama Islam ke Mekkah.
Mendengar rencana itu, sang istri pun tak kuasa menahan air mata. Kendati demikian, dia tetap merelakan suaminya pergi ke Tanah Suci.
Selepas sang istri mengucapkan kata-kata perpisahan nan romantis lagi puitis, Arsyad berangkat ke Makkah. Dia menetap di sana selama tiga dekade.
Bakti untuk Bumi Banjar
Sepulangnya dari Makkah, Arsyad membangun Masjid yang juga berfungsi sebagai majelis di Pagar Dalam. Tentu saja, tak semua warga setempat senang dengan pembangunan itu, utamanya para dukun yang masih melanggengkan aktivitas spiritualis di sana.
Dalam film, salah satunya dituturkan bahwa Datu Kalampayan pernah membantu seorang warga yang terluka akibat bekerja di sawah. Dia mengirim orang yang bisa menyembuhkan lukanya.
Adapun soal fiqih, salah satunya perihal kepanikan warga akan muncul kembalinya jenazah ke permukaan. Padahal, jasad itu sedianya sudah dikubur dan diperlakukan selayaknya dalam ajaran Islam.
"Tuan Guru, tolong kami. Di sana ada jenazah keluar dari liang lahat." Demikian aduan salah seorang warga kepada Datu Kalampayan.
Mendengar itu, sang ulama pun bergegas ke lokasi kejadian. Di sana, segerombolan orang tampak meraung-raung, takut akan hal-hal mistis yang menimpa mendiang tercintanya.
Dengan tenang, Datu Kalampayan menjelaskan bahwasanya itu adalah hal normal. Sebab, kebanyakan tanah di daerah Banjar adalah jenis gambut.
Selain gencar berdakwah, Datu Kalampayan juga aktif menulis. Salah satu karya ternamanya, Kitab Sabilal Muhtadin yang dia tulis dua tahun lamanya, jadi acuan mazhab Syafi'i di negara-negara lain.
Kitab tersebut merawikan sejumlah masalah akidah yang dialami warga Banjar. Kitab itu pertama kali ditulis pada 1767.
88 Menit dalam Kumparan Cerita
Film selesai dengan aneka pesan yang dicicil lewat sequence yang sama sekali tidak memunculkan sosok utuh sang Datu Kalampayan, melainkan hanya memunculkan suara dan teknik over shoulder untuk mendelegasikannya.
Secara garis besar, mengkhidmati film Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari: Matahari dari Bumi Banjar, jika tanpa pengetahuan dasar akan histori sang tokoh, maka akan ada banyak part bahkan bangunan cerita yang sulit dicerna.
Alasannya, karena lompatan cerita kurang rapi disertai pendalaman karakter yang terbilang datar.
Bila ditilik lebih jauh, sebagai penikmat film biopik, tampak upaya film ini untuk merekam dan menyampaikan pesan yang belum maksimal. Hal itu terpampang dari alur yang bersilang sengkarut dan berloncatan tanpa kelihaian menjembataninya.