Ekonomi Hijau

5 Alasan Indonesia Perlu Segera Transisi Ekonomi Hijau

Centre of Economics and Law Studies (CELIOS) menilai ekonomi ekstraktif yang selama ini dilakukan dapat membuka celah terjadinya kejahatan dan kerugian di Indon

Featured-Image
Ilustrasi ekonomi hijau. Foto: Shutterstock

bakabar.com, JAKARTA - Centre of Economics and Law Studies (CELIOS) menilai ekonomi ekstraktif yang selama ini dilakukan dapat membuka celah terjadinya kejahatan dan kerugian di Indonesia.

“Karena itu, transisi ekonomi hijau bisa menjadi alternatif untuk memperbaiki kurusakan yang ditimbulkan akibat operasional ekonomi ekstraktif,” kata Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara melalui siaran daring, Selasa (19/12).

Implementasi ekonomi hijau, kata Bhima, dapat memberikan lima manfaat bagi Indonesia. Pertama, dapat menciptakan tata kelola yang lebih baik untuk mencegah terjadinya korupsi di sektor ekstraktif.

Baca Juga: Transisi Ekonomi Hijau Picu Pertumbuhan PDB Sebesar 14,3 Persen

Selama ini, praktek ekonomi ekstraktif baik di batu bara, migas dan nikel sering kali menimbulkan ketimpangan dengan melakukan penghisapan kekayaan daerah ke Jakarta. Hal itu diperkuat dengan sebanyak 70 persen uang mengalir ke DKI Jakarta.

Di sisi lain, satu tahun jelang Pemilu 2024 mulai bermunculan kabar pendanaan tambang ilegal hingga ekspor nikel ilegal.

“Sektor ekstraktif ini lekat dengan praktik korupsi yang tidak hanya di pusat tapi juga di pemerintah daerah. Sebagian besar yang masuk KPK kalau tidak mengenai perizinan mendapatkan suap dari pengusaha di sektor pertambangan. Kita perlu membenahi ini,” terangnya.

Baca Juga: Ekonomi Biru Indonesia Kalah dengan Korsel dan Norwegia

Kedua, ekonomi hijau akan semakin membuka partisipasi dengan demokratisasi energi. Terlebih, Indonesia memiliki potensi ketersediaan energi baru terbarukan yang melimpah.

Adapun yang ketiga, dapat memperkuat daya tahan ekonomi dari fluktuasi ekonomi seperti harga komoditas batu bara, sawit, dan minyak mentah.

Di sisi lain, fluktuasi ekonomi juga disebabkan oleh konflik geopolitik yang saat ini sedang ramai. Di antaranya konflik Rusia dengan Ukraina dan konflik Israel dengan Hammas. Kondisi tersebut yang menyebabkan harga komoditas dunia mengalami fluktuasi yang tidak menentu.

“Selanjutnya keempat, belanja kesehatan dari efek polusi udara dapat bisa ditekan,” ujarnya.

Baca Juga: Pantesan Lambat, Pertumbuhan Ekonomi Biru masih Stagnan

Pasalnya, ekonomi ekstraktif selama ini berkaitan erat dengan kondisi kesehatan mental para pekerja. Polusi di DKI Jakarta misalnya, bila tidak segera ditangani akan berujung tingginya tingkat stres yang berpotensi terjadinya kehilangan beban ekonomi.

"Terlebih belanja kesehatan yang semakin mahal. Belanja kesehatan yang semakin mahal akan terjadi beban pada anggaran BPJS," terangnya.

Sedangkan terakhir, ekonomi hijau akan dapat meningkatkan kebahagiaan dari aspek pendapatan usaha akan terjadi kenaikan menjadi Rp902,2 trilun. Jumlah tersebut di bawah pendapatan usaha ekonomi ekstraktif yang berada di angka Rp582,3 triliun.

"Termasuk ketersediaan 19,4 juta lapangan pekerjaan dan peluang penerimaan gaji yang lebih kompetitif," pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner