Skandal Setoran Polri

2 Jenderal di Pusaran Ismail Bolong, Castro: Hukum Tak Kenal Senioritas

Komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit mengusut keterlibatan Komjen Agus Andrianto dan Irjen Herry Rudolf dipertanyakan dalam kasus tambang ilegal di Kaltim.

Featured-Image
Nama Jenderal Agus Andrianto dan Herry Rudolf Nahak disebut-sebut dalam skandal tambang ilegal di Kaltim. Foto: Tribratanews

bakabar.com, JAKARTA - Komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit mengusut keterlibatan Komjen Agus Andrianto dan Irjen Herry Rudolf dipertanyakan dalam kasus tambang ilegal di Kalimantan Timur.

Komjen Agus adalah Kabareskrim saat ini. Sedang Irjen Rudol Nahak adalah kepala sekolah staf dan pimpinan menengah (kasespim) Lemdiklat Polri. Nama kedua senior Listyo Sigit itu disebut-sebut menerima maupun mengelola uang koordinasi pengamanan dari pengusaha tambang ilegal Kaltim, salah satunya Ismail Bolong.

"Hukum itu tidak mengenal senioritas. Tidak dalam terma senior-junior dalam kamus penegakan hukum. Kalau bersalah, ya harus diproses. Siapapun dia, apapun jabatannya," ujar Pegiat Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah dihubungi bakabar.com, Rabu (23/11) siang.

Baca Juga: Setengah Hati Menangkap Ismail Bolong, ISESS: Wacana Kosong ‘Bersih-Bersih’ Polri

Keterlibatan Agus dan Herry mencuat setelah beredarnya video pengakuan Ismail Bolong. Belakangan penyelidikan terhadap keduanya dibenarkan Ferdy Sambo, mantan kepala Divisi Propam, Mabes Polri.

Sambo yang kini duduk di kursi pesakitan karena terseret kasus pembunuhan Brigadir Joshua membenarkan telah meneken surat penyelidikan terhadap Komjen Agus.

Di ruang kerja Kabareskrim Polri, Ismail Bolong mengaku telah menyetor uang koordinasi dalam bentuk dolar Amerika sebanyak 3 kali ke Komjen Agus. 

Masing-masing pada Oktober, November dan Desember 2021 senilai Rp2 miliar tiap bulannya, dana sebanyak itu diduga sebagai uang pelicin agar polisi menutup mata dalam bisnis tambang ilegal di Santan Ulu, Marangkayu, Kutai Kartanegara.

Baca Juga: Terseret Skandal Ismail Bolong, Eks Kapolda Kaltim Malah Promosi, Pengamat: Aneh

Dalam kesimpulan penyelidikan Tim Propam medio April 2022, didapati pula fakta kebijakan dari Herry Rudolf Nahak saat menjabat Kapolda Kaltim untuk mengelola uang koordinasi dari pengusaha tambang ilegal.

Pengelolaan dana diduga dilakukan secara satu pintu melalui direktur kriminal khusus Polda Kaltim untuk dibagikan kepada kapolda, wakapolda, irwasda, dirintelkam, dirpolairud serta kapolsek.

Castro, sapaan karib Herdiansyah, menjelaskan kedua perwira senior tersebut bisa saja dijerat dua pidana sekaligus. Pertama UU mineral dan batu bara. Dan kedua pidana korupsi sesuai UU Tipikor, jika terbukti menerima suap atau gratifikasi.

"Saya sih lebih menyarankan untuk khusus dugaan suap dan gratifikasinya, ditangani aparat penegak hukum lain. Itu untuk menjamin objektifitas penanganan perkarannya. Biar tidak jeruk makan jeruk," jelasnya.

Baca Juga: Skandal Cuan Emas Hitam Kaltim, Ismail Bolong Kebal Hukum?

Castro tak menampik kultur abang-adik asuh saat ini menjadi momok Kapolri untuk menindak Herry Rudolf apalagi Agus Andrianto. "Ini memang problem kultur di dalam tubuh kepolisian yang perlu direformasi secara total. Autokritik penting dalam sebuah lembaga," ujarnya.

"Pimpinan belum tentu selalu benar. Jadi kepatuhan seorang anggota kepolisian itu bukan terhadap pimpinan, tapi terhadap korps dan nilai-nilai kebenaran yang harus dipegang teguh."

Jenderal Sigit merupakan jebolan akademi polisi (akpol) 1991. Sedang Irjen Herry Rudolf adalah jebolan akpol 1990. Komjen Agus lebih senior lagi. Orang nomor satu di Bareskrim Polri itu adalah jebolan akpol 1989.

Castro sebelumnya memaknai diamnya petinggi Polri selama ini dalam kasus Ismail Bolong menyiratkan ada sesuatu yang hendak mereka sembunyikan.

"Publik menduga para petinggi sedang merencanakan skenario untuk melepaskan anggotanya dari jerat hukum. Ini tentu saja tidak selaras dengan pernyataan Kapolri untuk membenahi institusinya," ujar Castro. 

"Jadi seolah semacam lips service yang tidak sejalan dengan tindakannya. Janji Kapolri itu sebatas jargon kosong. Jadi tidak mengherankan jika tingkat kepercayaan publik terhadap institusi ini semakin merosot," ujarnya.

Pelaku kejahatan tambang ilegal, kata Castro, tak mungkin seberani Ismail andai tidak mendapatkan beking dari aparat di lapangan.

Pernah satu kasus yang masuk pengadilan, yakni tambang ilegal di Tanah Merah tepat di lokasi pemakaman Covid-19. Dalam fakta persidangan sempat tersebut nama salah satu anggota kepolisian.

"Tapi ini tidak pernah diusut dan dibiarkan menguap sampai sekarang seperti pengakuan Ismail Bolong itu," ujarnya.

Fenomena Ismail Bolong begitu mengherankan Castro. Terlebih, tempus delicti atau waktu kejadiannya tidak terlampau lama.

"Bahkan laporan pemeriksaan Propam tadi itu 'kan tertanggal 7 April 2022. Kenapa didiamkan dan seolah hanya selesai di internal kepolisian?" ujarnya.

"Ini kan berarti kepolisian sendiri sedang mengendapkan kejahatan. Kacau! Coba bayangkan paradoksnya, aparat penegak hukum menyembunyikan kejahatan," jelasnya.

Figur Sigit 

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prasetyo. Foto: Antara.

Pengamat kepolisian ISESS, Bambang Rukminto melihat ada yang aneh pada pola kaderisasi di tubuh Polri saat ini. 

"Ini yang menjadi problem ketika Kapolri dipilih terlalu muda dan hanya mengandalkan kedekatan dengan presiden. Akibatnya yang repot presiden sendiri," ujar Bambang dihubungi terpisah.

Mengemban jabatan kabareskrim, Agus digadang-gadang sebagai sosok terkuat menggantikan Listyo Sigit. Namun Bambang berkata tidak sekalipun pernah, sosok kapolri yang dipilih presiden lebih senior dari yang akan digantikan.

"Pascareformasi tidak pernah. Semuanya digantikan juniornya. Hanya saja di era Presiden Jokowi ini, pergantian yang memotong sekian angkatan itu menjadi masalah," ujarnya.

Bambang menjelaskan sedianya tak pernah ada aturan tertulis mengenai senior menggantikan juniornya sebagai Kapolri. "Tidak ada. Hanya ada kesepakatan tak tertulis di antara para senior turun temurun," jelasnya.

Misalnya saja ketika seseorang yang diangkat menjadi bintang 3 harus pernah menjabat Kapolda minimal 2 kali, dan salah satunya Polda tipe A-1.

"Listyo Sigit ini hanya pernah sekali menjadi Kapolda, itupun tipe A-2 Polda Banten," jelasnya.

Pun demikian jenjang pendidikan, harus melalui sekolah staf dan pimpinan tinggi (Sespimti) atau sekolah staf dan komando bagian gabungan (Seskogab). Bukan cuma Lemhanas yang merupakan kursus umum terkait pertahanan nasional. Listyo sendiri, kata Bambang, tidak pernah melalui Sespimti, hanya Lemhanas.

"Tapi, namanya prerogatif presiden, ya suka-suka presiden 'lah. Entah karena yang membisiki keliru, atau presidennya yang sekadar mengikuti keinginannya sendiri," jelas Bambang.

Pergantian memotong sekian angkatan tak hanya terjadi di Listyo Sigit, namun juga semasa Tito Karnavian menjabat kapolri. Namun Tito, kata Bambang, memiliki rekam jejak yang sudah lengkap. Dilihat dari kompetensi dan kualitas personalnya. Sedang Idham Azis, menurutnya tak perlu dihitung karena hanya pejabat antara saja.

"Yang menarik memang kapolri saat ini. Kelebihan dalam rekam jejak karirnya hanya karena dekat dengan presiden," papar Bambang.

Tak hanya Listyo Sigit, kata Bambang, hampir semua perwira bintang tiga di Polri saat ini tidak mengikuti aturan tak tertulis itu. "Wakapolri hanya satu kali kapolda, begitu juga dengan Kabareskrim," ujarnya.

Siapa yang membuat perubahan dalam hal pengaderan tersebut? Menurutnya, tentu saja Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) Mabes Polri, terutama ketika kapolri dijabat Tito Karnavian.

"Ada percepatan-percepatan promosi untuk orang-orang terdekat (seperti jargon promoter) di era Kapolri Tito Karnavian," jelasnya.

"Dan ini diteruskan di era Idham Azis. Tak salah bila akhirnya problem-problem itu muncul di era Listyo Sigit ini," sambungnya.

Terkhusus Herry Rudolf Nahak. Bambang melihat polisi berlatar serse itu lebih banyak berkarir di Densus 88.

Perjalanan karir Herry, menurutnya tentu tak bisa dilepaskan dari peran Tito Karnavian. Bintang dua peraih Adhi Makayasa 1990 itu mendapat penugasan di BNPT pada 2016 dan promosi ke direktur pidana umum Bareskrim 2017 saat Tito Karnavian menjabat sebagai Kapolri.

"Dalam kasus Ismail Bolong dugaan saya, HRD [Herry] ini tidak secara langsung terlibat. Dia berada di waktu dan tempat yang tidak tepat. Soal upeti-upeti itu diduga bukan pada HRD saja, tetapi pada siapapun yang jadi Kapolda. Dan bukan pada Kapolda Kaltim saja," pungkas Bambang. Sampai berita ini diturunkan, Herry Rudolf Nahak belum merespons upaya konfirmasi bakabar.com. 

Editor
Komentar
Banner
Banner