Tak Lekang dari Manuver AS
Lantaran mendapat desakan dari berbagai pihak, akhirnya dihelat lah sebuah perundingan antara Indonesia dan Belanda di atas kapal perang milik Amerika Serikat (AS) yang tengah singgah di Teluk Jakarta.
Armada tersebut bernama USS Renville. Sebab itulah, pertemuan yang dilangsungkan pada 8 Desember 1947 itu disebut Perundingan Renville.
Indonesia mengirim elite politik terbaik untuk merumuskan perundingan kali ini. Mereka adalah Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Agus Salim, Leimena, Coatik Len, dan Nasrun. Sementara, pihak Belanda didelegasikan oleh H.A.I van Vredenburg, Dr. P.J. Koets, Dr. Chr. Soumokil, dan orang Indonesia yang menjadi utusan Belanda: Abdul Kadir Wijoyoatmojo.
Tak cuma menghadirkan dua pihak yang terlibat langsung dalam permasalahan. Perundingan kala itu melibatkan mediator sebagai penengah dari Komisi Tiga Negara (KTN), di mana terdiri dari negara AS, Australia, dan Belgia.
Sejarah mencatat, AS sebagai salah satu anggota KTN sukses mendamaikan Belanda dan Indonesia dalam Perjanjian Renville. Namun, seiring berjalannya waktu, terungkap banyak keganjilan dalam manuver Negeri Adidaya itu.
Posisi AS sebagai juru damai, idealnya, bersikap netral lagi memperlakukan pihak-pihak yang terlibat dengan setara. Sayangnya, manuver mereka berujung pada kekecewaan mendalam bagi para elite politik Indonesia.
Betapa tidak, keterlibatan mereka malah turut melemahkan posisi Indonesia selama perumusan perjanjian. Pada awalnya, AS sebenarnya satu gerbong dengan Inggris sebagai pihak yang tak menyetujui agresi Belanda.
Namun, dukungan semacam itu tak cukup menjadi solusi atas konflik Indonesia dan Belanda. Sebagai dua raksasa Barat, AS serta Inggris lantas memilih tidak melakukan tindakan efektif untuk menghentikan agresi Belanda.
Di tahap ini, kecurigaan menyebar di kalangan elite politik Indonesia. Mereka menganggap AS bersikap licik dan sebenarnya memihak Belanda.
Lagi-lagi, Hasilnya Merugikan Indonesia
Kecurigaan yang demikian sejatinya adalah hal lumrah, mengingat hasil Perundingan Renville memang begitu merugikan Indonesia. Perdebatan yang cukup alot itu menghasilkan tiga poin, salah satunya mempersempit wilayah negeri ini.
Ya, Perundingan Renville membuat Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai wilayah Indonesia. Bahkan, disepakati pula adanya garis demarkasi antara wilayah RI dan daerah pendudukan Belanda.
Penanda perbatasan itu dinamakan Garis van Mook – mengambil nama dari Hubertus van Mook, Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir. Anthony Reid dalam Indonesian National Revolution 1945-1950 (1974) menyebut keberadaan garis itu sejatinya adalah bentuk hinaan terhadap Indonesia.
Tak cuma itu, poin ketiga juga kian melemahkan Indonesia. Yakni, TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Di balik segala ‘kebuntungan’ yang dialami Indonesia akibat Perundingan Renville, setidaknya ada sisi positif yang dapat dimaknai. Yaitu, semakin membuka mata dunia internasional untuk memperhatikan Indonesia dan mencermati sepak-terjang Belanda.