News

Belasan Tahun Aksi, Ibu Wawan Masih Menanti Keadilan Tragedi Semanggi I

Maria Catarina Sumarsih atau biasa dipanggil ibu Wawan bergelut dengan aksi selama kurang lebih 16 tahun.

Featured-Image
Dari kanan, Sumarsih (71) sedang memegang payung melaksanakan aksi kamisan ke enam belas tahun di depan istana negara pada Kamis (19/01. Foto: apahabar.com/BS

bakabar.com, JAKARTA - Maria Catarina Sumarsih atau biasa dipanggil ibu Wawan bergelut dengan aksi selama kurang lebih 16 tahun.

Sumarsih masih setia mengangkat payung hitam serta membawa berkas-berkas hilangnya Wawan pada tragedi Semanggi I. 

Usianya kini tak lagi muda, 71 tahun. Separuh hidupnya ia habiskan untuk mencari kebenaran tentang anaknya yang hilang. 

Pengakuan Presiden Jokowi terhadap dua belas tragedi kemanusiaan yang terjadi di tanah air tidak membuat dirinya lega.

Baginya pemerintahan Jokowi tidak melakukan apapun meski sudah mengakui tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi.

“Kalau menurut saya pak Jokowi seperti bingung, ketika dia mengangkat orang-orang pelanggar HAM berat di dalam gerong kekuasaannya para terduga pelanggar HAM berat ini memberi masukan terhadap presiden Jokowi, sehingga terbit Perpres 17 tahun 2022 yang benar-benar bertentangan dengan undang-undang yang berlaku,” ungkapnya pada awak media saat ditemui di depan Istana negara pada aksi kamisan yang ke enam belas tahun, pada Kamis (19/1). 

Baginya, janji pemerintah hanya omong kosong belaka, sebab, pada kenyataannya, pemerintahan Jokowi tidak mampu mengambil langkah serius untuk segera menangkap pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu, yang menghilangkan anaknya.

“Undang-undangnya sudah dibuat sudah ada Undang-undang Perlindungan HAM mekanismenya jelas, Komnas HAM melakukan penyidikan, Jaksa Agung menindaklanjuti laporan, kalau terbukti terjadi pelanggaran HAM berat maka maka DPR berhak untuk menerbitkan rekomendasi kepada Presiden untuk pembentukan ad hoc,” tuturnya.

“Pertanyaannya apakah Presiden Jokowi berani menugaskan Jaksa Agung untuk melaksanakan Undang-undang Perlindungan HAM Pasal 21 Ayat 3 yang isinya adalah Jaksa Agung membentuk tim penyidik, adhoc, yang terdiri dari pemerintah dan masyarakat,” tegas Sumarsih. 

Ia mungkin nampak renta, jalannya sudah bungkuk sangat berbeda jika dibandingkan dengan kondisi fisiknya di awal tahun 2000-an. Namun ingatannya masih jelas, tatkala berurusan dengan kejelasan nasib anaknya. 

Bivitri Susanti, aktivis dan akademisi perempuan yang turut hadir dalam massa aksi menyebutkan, jika tindakan yang Jokowi lakukan sama sekali tak mencerminkan janji-janji politiknya saat ia masih mencalonkan sebagai bakal presiden.

“Kalau saya sih melihat dia menggunakan isu HAM ini, dan saya khawatir nanti Capres lain juga begini, menggunakan HAM hanya sebagai jualan politik, dan kita semua tahu banyak sekali aktivis HAM yang mendukung jokowi karena janjinya menyelesaikan pelanggara HAM berat dan korupsi,” kata Dosen Sekolah HUkum Jentera itu pada Kamis (19/1).

“Tapi dua-duanya sekarang terbengkalai, saya sih melihat memang sebenarnya dia gak punya komitmen yang genuine gitu, tapi hanya mau menjadikan isu–isu besar sebagai jualan politiknya,” sesalnya. 

Ia percaya apa yang dilakukan pemerintah masih jauh dari janji penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Ia tak cukup yakin, jika pemerintah serius menyeret pelaku ke meja hijau meski gembar-gembor akui dosa politik tanah air. 

Sementara itu, baginya, mengakui dosa saja tidak cukup, pemberian keadilan hukum dan pelurusan sejarah juga harus dilakukan negara.

“Pelurusan sejarah itu penting, jangan jauh-jauh deh kita datang ke Monas aja, tour guide akan selalu menjelaskan tragedi pembunuhan 65 dari bagian pemerintah saja. Kan ada banyak sekali yang terlewat dari sana, nah di sini peran negara, meluruskan apa yang kita di sekolah itu tidak dapat,” tutupnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner