bakabar.com, BANJARMASIN – Polemik pemindahan ibu kota provinsi Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru kian menguat.
Langkah senyap perancangan Undang-Undang Provinsi Kalsel yang memuat hal pemindahan itu mengundang ragam kejanggalan. Terlebih, Pemkot Banjarmasin tak dilibatkan selama pembahasan.
Kondisi tersebut mengundang reaksi Borneo Law Firm (BLF). Firma hukum satu ini bakal membuka posko aduan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kami selalu terbuka untuk para pencari keadilan, termasuk untuk menguji UU Provinsi Kalsel," ucap M Pazri, Direktur BLF dihubungi bakabar.com, Kamis (24/2).
Sejauh ini, BLF masih memelajari sejumlah dokumen dan aturan-aturan terkait pemindahan ibu kota provinsi tersebut.
UU Provinsi memang sudah disahkan DPR RI sejak 15 Februari kemarin. Namun menurutnya, pihak terkait yang punya legal standing atau kewenanganmasih berpeluang menempuh jalur uji materi.
Pasal 73 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. UU itu disahkan oleh presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 hari, terhitung sejak UU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan presiden.
Pasal 73 ayat (2) menyatakan dalam hal UU tidak ditandatangani oleh presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak disetujui bersama, UU tersebut sah menjadi dan wajib diundangkan.
Pazri sepakat dengan keberadaan UU Nomor 25/1956 jo UU Nomor 21/1958 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 10/1957, menjadi dasar pembentukan Daerah Swantara (Provinsi) Tingkat I Kalsel harus direvisi.
Secara historis Provinsi Kalsel berdiri pada 1 Januari 1957 dengan dasar UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalsel, Kalbar dan Kaltim.
Sebelumnya, tiga provinsi itu menjadi satu di bawah satu Provinsi Kalimantan hingga pada 23 Mei 1957. Provinsi Kalsel pun dipecah menjadi Provinsi Kalsel dan Provinsi Kalteng dengan dasar terbitnya UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Provinsi Kalteng.
Sebab secara yuridis, dasar pembentukan Provinsi Kalsel dinilai telah kedaluwarsa (out of date) karena dibentuk menggunakan UUDS Tahun 1950 sehingga muatannya dianggap tak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan terkini.
Namun, setelah mencermati dan membaca UU Provinsi Kalsel yang baru disahkan pada 15 Februari 2022, Pazri menilai banyak menuai polemik.
Seperti Pasal 4 yang bunyinya ibu kota provinsi Kalsel berkedudukan di Banjarbaru.
Menurutnya, dalam UU Kalsel yang baru disahkan terkesan tidak mengakomodasi landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan yuridis.
"Termasuk kebutuhan Kalsel sangat tidak lengkap serta ke depan akan menimbulkan ketidakpastian hukum," kata doktor jebolan Universitas Sultan Agung Semarang ini.
Pazri berkesimpulan bahwa UU Provinsi Kalsel yang baru disahkan harus dikaji lebih mendalam, termasuk uji publik secara maksimal.
"Karena saya menganggap rentan UU Kalsel tersebut digugat ke MK, di uji dengan ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D ayat (2) UUD 1945," paparnya.
Dasar untuk menggugat UU Provinsi Kalsel bisa melalui judicial review di MK.
Dasarnya adalah Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. MK berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka, pengujiannya dilakukan oleh MK.
Soal Yudicial Review Pemindahan Ibu Kota Kalsel, Ibnu Sina Tak Ingin Buru-Buru