Tak Berkategori

Mahasiswi Jadi Korban Catcalling di Banjarmasin, Narasi: Harusnya Kampus Punya SOP

apahabar.com, BANJARMASIN – Kasus catcalling yang dialami MRA disesalkan sejumlah pihak. Aktivis dari Narasi Perempuan, Anna…

Featured-Image
Narasi Perempuan menyesalkan aksi catcalling yang menimpa mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta di Banjarmasin. Foto: Dok.apahabar.com

bakabar.com, BANJARMASIN – Kasus catcalling yang dialami MRA disesalkan sejumlah pihak.

Aktivis dari Narasi Perempuan, Anna Desliani menyesalkan kasus seperti ini kembali terjadi, terlebih di kampus berbasis agama.

Anna juga menyoroti langkah kampus yang meminta MRA melaporkan kasus tersebut ke bidang kemahasiswaan.

Mestinya, kata Anna, pihak rektorat yang melakukan penelusuran, bukan malah menyuruh korban.

"Karena untuk bicara saja korban sulit, apalagi harus melapor," ucapnya kepada bakabar.com, Selasa (21/9).

Dia lantas meminta pihak kampus harus belajar lagi bagaimana menangani kasus pelecehan seksual.

"Sebab sampai sekarang belum ada SOP (standar operasional prosedur) di kampus-kampus yang ada di Banjarmasin soal penanganan kasus kekerasan seksual," ujarnya.

Anna menekankan bahwa kasus MRA jangan dianggap sepele. Rektorat harus serius dalam mengusut tuntas kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus.

"Pihak kampus harus mengusut kasus ini dengan cepat dan tegas dan harus ada aturan yang jelas," tekannya.

Anna bilang pendampingan seperti psikis hingga keamanan korban sangat perlu. Selain itu, pemulihan juga mesti diberikan kepada pelaku.

"Rehabilitasi atau yang kami biasa sebut dengan pemulihan ini harus diberikan, agar pelaku tidak lagi melakukan hal serupa," pungkasnya.

Sebelumnya, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Uniska, Idzani Muttaqin, mengaku telah mengumpulkan jajarannya. Namun tak ada satupun mengaku.

Dia malah menduga bahwa pelaku catcalling terhadap MRA hanya oknum yang mengaku-ngaku.

Pasalnya, kata Idzani, hal serupa pernah terjadi. Dengan modus yang sama, pengurusan beasiswa.

"Itu pernah kejadian, setelah kita kroscek ternyata orang hanya mengatasnamakan kemahasiswaan," ungkapnya ditemui media ini, Selasa (21/9).

Soal beasiswa, dirinya memastikan pihaknya tak pernah meminta imbalan. Pasalnya, hal tersebut sudah diatur oleh Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti).

Di satu sisi, Idzani meminta MRA untuk melaporkan langsung kasus tersebut kepadanya. Idzani menjamin identitas dan keamanan bakal terjaga.

"Dijamin dan kami lindungi. Kalau dia (MRA) tidak berani datang langsung ke kemahasiswaan, bisa agendakan bertemu di luar," tuntasnya.

Pelecehan seksual secara verbal menimpa MRA. Dua bulan lalu, mahasiswi semester awal ini menjadi korban catcalling oknum pegawai kemahasiswaan.

Setelah mendapat dorongan dari rekan-rekannya, ia baru berani buka-bukaan. MRA tak mau jika mahasiswi lain juga menjadi korban oknum pegawai itu.

bakabar.com secara khusus menemui MRA pada Selasa (21/9). Bermula dari beasiswa, lama-kelamaan percakapan oknum itu menjurus ke topik mesum.

Pelecehan seksual secara verbal sudah berhari-hari MRA rasakan melalui pesan Whatsapp. Tepatnya pada 11-13 September 2021 ketika si pegawai membalas pesan yang dilayangkan MRA.

“Cium barang nah,” ujar pegawai itu kepada MRA. MRA amat paham konteks ucapan pegawai tersebut. “Saat itu saya menanyakan informasi beasiswa melalui nomor kontak yang tertera di instagram resmi kampus,” cerita MRA.

Sempat ingin memendamnya, MRA akhirnya membeberkan kronologi catcalling yang menimpanya. bakabar.com menemui MRA secara khusus pada Selasa (21/9) setelah ia mendapat dorongan dari rekan-rekannya.

Dimintai pendapatnya, Ketua Ikatan Psikolog Kalsel (IPK) Kalsel, Melinda Bahri menjelaskan pengertian daripada Catcalling.

“Pelecehan seksual seperti ini banyak menimpa anak-anak perempuan atau perempuan dewasa, ini di psikologi disebut pelecehan seksual secara verbal, termasuk kekerasan seksual psikis,” ujarnya.

Lantas, bagaimana cara memutus mata rantai Catcalling? Melinda mendorong untuk korban berani angkat bicara.

“Karena bentuknya terselubung, pelaku seperti ini hanya berani melalui chat, jika korban merespons maka mereka akan beraksi,” ujarnya.

Kebanyakan korban, kata dia, cenderung hanya diam, malu dan lebih takut akan stigma.

“Kami apresiasi MRA sudah mau membuka apa yang terjadi, semoga ada respons minimal dari kampus sebagai efek jera,” ujarnya.

Lebih jauh, Melinda melihat perlu adanya pendampingan untuk menjaga psikologis MRS.



Komentar
Banner
Banner